Tantangan Baru Dalam Penegakan Hak Kekayaan Intelektual
PROLOG
PERKEMBANGAN teknologi digital yang masif di era kontemporer telah membawa tantangan
baru yang signifikan dalam ranah penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di
Indonesia. Fenomena pelanggaran merek kini melampaui sengketa produk fisik dan
memasuki wilayah konten digital di media sosial, yang secara cepat dan luas dapat
menimbulkan kerugian imateriil dan merusak citra (goodwill) bagi pemilik hak.
Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis (UU Merek) menjadi landasan yuridis utama yang memberikan Hak
Eksklusif kepada pemilik merek terdaftar untuk menggunakan dan melarang pihak lain
menggunakan merek tanpa izin. Kasus sengketa merek yang melibatkan PT Indosiar
Visual Mandiri sebagai pemilik merek terdaftar dan Vicky Kaleaselaku kreator konten
TikTok yang mengunggah parodi program "Pintu Berkah" dengan mencantumkan Logo Indosiar tanpa izin merupakan studi kasus yang krusial.
Penggunaan logo tersebut,
meskipun dalam konteks parodi, berpotensi menyesatkan publik seolah konten tersebut
terafiliasi resmi atau disponsori oleh Indosiar, sehingga berimplikasi pada merosotnya
reputasi perusahaan. Kerugian imateriil yang diderita oleh Indosiar inilah yang
mendorong perusahaan untuk menempuh upaya hukum represif awal dengan melaporkan
pelaku ke kepolisian atas dugaan pelanggaran Pasal 100 Ayat (1) UU Merek, yang mengancam hukuman pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal sebesar dua
miliar rupiah. Langkah awal Indosiar ini memperlihatkan keseriusan pemilik merek
dalam menegakkan haknya dan menggunakan instrumen pidana sebagai upaya terakhir
(ultimum remedium) untuk memberikan efek jera, terutama di tengah maraknya kasus
serupa yang dipicu oleh rendahnya kesadaran hukum kreator konten.
Namun demikian, penegakan hukum dalam kasus ini mengalami pergeseran paradigma
yang menarik dan menjadi inti permasalahan akademik. Meskipun laporan awal
didasarkan pada mekanisme pidana, kasus ini tidak dilanjutkan ke peradilan umum,
melainkan diselesaikan melalui Mediasi Penal yang difasilitasi oleh Kepolisian Polres
Metro Jakarta Barat. Hal ini sejalan dengan sifat delik aduan absolut dalam UU Merek
dan merupakan implementasi dari Pasal 93mengenai Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Keputusan penyelesaian damai melalui mediasi ini, yang mengedepankan
prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice), menunjukkan konflik yang jelas
antara Das Sollen (norma pidana yang represif) dengan Das Sein (praktik di lapangan
yang adaptif dan fokus pada pemulihan). Sanksi yang disepakati bukanlah pidana penjara
atau denda, melainkan sanksi non-formal berupa pernyataan maaf terbuka di hadapan
publik dan penghapusan konten. Sanksi ini dinilai lebih efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan primer Indosiar, yaitu pemulihan nama baik dan citra, sebuah
kerugian yang tidak dapat diukur secara sempurna hanya dengan tuntutan denda. Kasus
ini juga memperkuat temuan bahwa faktor Budaya Hukum Masyarakat yang masih
rendah, sebagaimana dianalisis dalam teori penegakan hukum Soerjono Soekanto,
menjadikan mediasi sebagai solusi praktis, karena proses peradilan yang panjang dan
mahal seringkali dihindari oleh kedua belah pihak.
karena itu, kajian ini memiliki urgensi akademik yang sangat tinggi. Analisis yuridis
ini bertujuan mengkaji secara mendalam bagaimana kerangka hukum, khususnya UU
Merek, mengakomodasi penyelesaian sengketa non-litigasi dalam delik aduan HKI dan
bagaimana Keadilan Restoratif dapat dioptimalisasi sebagai instrumen yang efektif
dalam menanggulangi pelanggaran HKI di media sosial. Kasus "Indosiar vs Vicky Kalea"
ini harus dikaji sebagai preseden penting yang mengindikasikan bahwa perlindungan
hukum merek di Indonesia mulai bergerak ke arah yang lebih progresif dan adaptif,
mengutamakan efektivitas penyelesaian sengketa serta memulihkan reputasi korban
secara cepat. Hasil penelitian ini diharapkan tidak hanya memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu hukum HKI, tetapi juga memberikan panduan praktis bagi pemilik
merek terkemuka, penegak hukum (khususnya kepolisian dan DJKI), dan kreator konten
untuk memahami batas-batas hukum, sehingga tercipta ekosistem digital yang beretika, legal dan berkelanjutan.
*) Dr. Anne Gunawati, S.H., M.Hum, Rully Syahrul Mucharom, S.H., M.H adalah dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten.
*) Bahrul Ulum mahasiswa Hukum di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten.
