12 JUTA PENUMPANG WHOOSH, APA ARTINYA?
SUDAH 12 juta orang naik Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Dua belas juta! Bukan angka kecil, bukan angka propaganda, dan bukan pula angka pesanan biro humas istana. Bisa dicek dan dikonfirmasi datanya. Itu adalah kepercayaan publik yang nyata—orang-orang yang membeli tiket, duduk, dan melesat dalam 40 menit dari Halim ke Tegalluar tanpa rasa takut, tanpa teror politik, tanpa khotbah dari pengamat ekonomi layar kaca.
Tapi anehnya, di negeri yang paling sibuk mencari celah dari keberhasilan orang lain, 12 juta penumpang masih juga dianggap “belum bukti apa-apa”. Katanya proyek ini pemborosan, katanya beban utang, katanya cuma “alat politik Jokowi”. Boleh jadi yang bicara begitu justru belum tentu pernah naik Whoosh, bahkan mungkin belum pernah ke Halim.
Ironis, mereka tak sadar: kalau proyek ini memang sembarangan, 12 juta orang itu seharusnya sudah jadi berita duka, bukan berita capaian.
Namun faktanya, Whoosh berjalan aman, nol kecelakaan besar, dengan rekor harian lebih dari 25 ribu penumpang.
Tapi tetap saja—yang dicari bukan data, melainkan dosa.
Mari jujur: Whoosh bukan cuma proyek rel, tapi simbol keberanian Indonesia untuk melompat di tengah ketakutan kolektifnya sendiri. Sebelum ini, kita sibuk memuja-muja “kemajuan” negara tetangga: Singapura dengan MRT-nya, Thailand dengan pariwisatanya, Vietnam dengan industrinya. Kini giliran Indonesia punya kereta cepat, tiba-tiba sebagian orang jadi alergi.
Indonesia sudah melampaui Amerika Serikat dan India dalam pembangunan KA cepat. California yang menggagas sejak 2008 masih mangkrak. Sudah 170 miliar dollar dihabiskan untuk jalur San Fransisco - Los Angeles belum kunjung jadi.
India baru tahun depan menikmati 500 kilometer kereta cepatnya yang menghubungkan Mumbai - Ahmedabad - tapi belum jelas juga kepastiannya. Kendala biaya juga menghantui proyek dua raksasa kerjasama dengan Jepang itu.
Di forum regional, Whoosh jadi bahan perbandingan, bukan ejekan. Namun di dalam negeri, ia justru dijadikan bahan debat tentang siapa yang akan dapat panggung di 2029.
ASEAN kini memandang Indonesia berbeda dari sebelumnya - setelah kita punya Whoosh. Kita tak lagi sekadar negara besar dengan birokrasi lambat, tapi negara yang berani mengeksekusi.
Padahal kalau kereta cepat ini benar-benar gagal, mengapa Prabowo justru melanjutkan dan memperluas jalurnya hingga Surabaya? Bukankah ini bukti paling sederhana bahwa proyek ini berhasil?
Atau jangan-jangan, “pemborosan” itu hanya berlaku kalau inisiatif datang dari Jokowi, tapi berubah jadi “strategi pembangunan nasional” begitu nama presidennya berbeda?
Kalau begitu, yang bermasalah bukan proyeknya, tapi standar kejujuran politik kita.
SATU lagi, ya. Ketika Jokowi menyebut Whoosh sebagai “investasi sosial”, sontak sebagian komentator ekonomi seperti kehilangan keseimbangan. “Bagaimana bisa proyek B to B disebut investasi sosial?” kata mereka dengan nada sok tahu, seolah semua istilah pembangunan harus lewat kalkulator bunga pinjaman.
Padahal Jokowi tidak sedang bicara soal format pembiayaan, tapi makna pembangunan. “Investasi sosial” bukan berarti proyek amal. Ia berarti nilai sosial dari proyek ekonomi—manfaat yang dirasakan rakyat: konektivitas, waktu tempuh, peluang kerja, dan kepercayaan diri bangsa.
Tapi begitulah, di negeri yang segala sesuatu harus diukur dengan angka defisit dan kurs dolar, kata “sosial” selalu dianggap sinonim dari “merugi”. Seakan-akan yang disebut “investasi” hanyalah yang mencetak laba finansial, bukan laba peradaban.
Coba lihat realitasnya:
12 juta penumpang bukan angka subsidi. Memang ada promosi pada awalnya. Normal. Tapi mereka bayar tiket, dan mereka memilih naik.
Waktu tempuh 3 jam kini jadi 40 menit. Itu bukan teori ekonomi, itu efisiensi hidup. Ada keluhan teknis dan kenyamanan. Nyaris tidak ada. Puji pujian malah berlimpah!
Kota-kota baru mulai tumbuh di lintasan Padalarang dan Tegalluar. Itu bukan propaganda, tapi fakta lapangan.
Kalau itu bukan investasi sosial, lalu apa?
LUCU - di negeri ini kecepatan justru dianggap dosa. Saat proyek berjalan cepat, dibilang tergesa-gesa. Saat proyek tertunda, dibilang gagal. Saat sudah jadi, dibilang ambisius!
Tampaknya yang diinginkan sebagian orang hanyalah satu: proyek yang tidak pernah selesai agar mereka bisa terus berteriak “mana hasilnya?”. Gagal. Mangkrak. Adili.
Padahal risiko proyek ini sangat tinggi. Bayangkan, kecepatan 350 km/jam di negara tropis dengan kontur tanah rumit. Tapi sejauh ini, aman. Tidak ada berita kecelakaan fatal. Tidak ada kegagalan teknis besar. Namun tetap saja, sebagian orang lebih percaya rumor Twitter ketimbang laporan keselamatan resmi.
Kita ini bangsa yang luar biasa: bisa membangun infrastruktur tercepat di ASEAN, tapi juga bisa menciptakan teori konspirasi tercepat di dunia.
Ada korupsi di Whoosh? Ya ada! Memangnya proyek apa yang tidak dikorupsi di negeri ini? BBM Pertamina dikorupsi, Bansos dikorupsi, pembangunan menara internet dikorupsi, duit pensiunan tentara dikorupsi. Silakan saja usut korupsinya, tangkap pelakunya.
SEJAK zaman Bung Karno, proyek mercusuar selalu dicibir: Monas, Stadion Gelora Bung Karno, Taman Mini, semuanya pernah dianggap “pemborosan”. Tapi waktu membuktikan: yang dulu dicaci kini jadi ikon.
Whoosh pun akan begitu. Hari ini mungkin masih jadi bahan debat politik. Tapi sepuluh tahun lagi, ia akan jadi hal biasa—dan para pengkritiknya akan berpose di dalamnya sambil tersenyum di Instagram. Begitulah nasib proyek besar: selalu dimaki di awal, dipuji di akhir.
Mereka yang dulu berteriak “ini proyek Jokowi” akan melupakan jeritannya ketika nanti proyek ini meluncur sampai Surabaya, dan mereka ikut memotong pita peresmiannya.
Whoosh bukan sekadar kereta. Ia adalah simbol dari bangsa yang akhirnya berani melesat lebih cepat dari rasa curiganya sendiri.
Sebuah bangsa yang terlalu lama disekolahkan untuk berpikir lambat, kini belajar bahwa kecepatan juga bisa lahir dari kehati-hatian dan keberanian.
Dan kalau proyek seaman ini masih dicurigai, kalau keberhasilan semacam ini masih dianggap dosa, mungkin yang harus diperiksa bukan rel keretanya, tapi rel logika kita.
Karena pada akhirnya, Whoosh sudah melaju — melesat - meninggalkan mereka yang sibuk mencari cari alasan untuk terus ngomel dan merepet di stasiun kebencian. *
Editor: M Syafrin Zaini
