Bupati "Mamalihan"
Oleh: Drs. H. Djamu Kertabudi| Pengamat Politik dan Ilmu Pemerintahan
Saat ini mulai terdengar isu dan dirasakan publik, ibaratkan sebagai "krikil dalam sepatu".
PEMIMPIN politik, khususnya Kepala Daerah tiap periode terus berganti melalui kontestasi pilkada, wajah dan etalase pemerintah daerah selalu berubah karena dipengaruhi selera, karakter, dan latar belakang yang berbeda antara masing-masing Kepala Daerah.
Maka dari itu, secara normatif sesuatu yang dimungkinkan sosok Kepala Daerah merekrut orang kepercayaannya untuk membantu tugas kepemimpinannya dalam konteks perumusan kebijakan dan "problem solving", sebagai bahan pengambilan keputusan.
Namun demikian, yang harus diperhatikakan, bahwa orang atau tim ini harus berada di "ruang terbatas". Dalam arti tidak nyelonong masuk ke wilayah praktis dalam tatanan dan mekanisme birokrasi pemerintahan.
Seperti halnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung Barat. Sejak bupati pertama sampai dengan bupati ketiga, meskipun masing-masing merekrut orang-orang kepercayaannya, akan tetapi mekanisme pemerintahan melalui jalinan komunikasi langsung antara bupati dengan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), baik secara formal maupun informal berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga sinergitas dalam penyelenggaraan pemerintahan tetap terjaga.
Jeje Richee Ismail hampir satu tahun menjadi Bupati Bandung Barat. Satu hal yang memberi kesan tersendiri adalah terdapat nuansa baru yang berbeda dari kepemimpinan sebelumnya, yaitu hubungan bupati dengan wakil bupati secara kasat mata tampak memperlihatkan kebersamaan.
Lain halnya dengan duet kepemimpinan sebelumnya, selalu tampak "berbeda" terkesan peran Wakil Bupati terpinggirkan, sehingga konflik tidak terhindarkan.
Hal ini memberi kesan pertama tumbuhnya rasa optimisme berkaitan dengan Bandung Barat kedepan.
Krikil dalam Sepatu
Namun demikian, satu hal yang mulai terdengar isu dan dirasakan publik, di ibaratkan sebagai "krikil dalam sepatu", yaitu kesulitan komunikasi langsung antara pimpinan OPD dengan bupatinya, termasuk pihak lain yang hendak beraudensi dengan bupati.
Dalam kondisi seperti ini, mungkin maksudnya baik, ada sosok kepercayaan bupati yang berperan menjembatani kemandegan komunikasi semacam ini yang bertindak sebagai kepanjangan tangan bupati memberikan informasi dan perintah kepada pimpinan OPD.
Tentu saja penerimaanya menjadi tidak baik, sehingga memunculkan prasangka yang tidak semestinya.
Karena gaya dan cara penyampaiannya sebagaimana judul dalam tulisan ini. Disamping itu pernah terjadi ada anggota DPRD KBB yang bertindak sebagai pengurus inti partai hendak bertemu dengan Bupati, tapi diterima oleh sosok ini, akhirnya terjadi miskomunikasi.
Yang lebih menarik, saat salah serang tokoh masyarakat KBB yang bertindak sebagai pimpinan lembaga kemasyarakatan mengirim surat resmi untuk beraudensi dengan bupati, dan telah ada konfirmasi dari sosok kepercayaan bupati bahwa pada waktu yang ditentukan bupati berkenan menerimanya.
Namun saat tokoh beserta pengurus lainnya hadir di kantor bupati pada waktunya,ternyata hari itu tidak terjadwal. Spontan saja tokoh ini bereaksi keras menuntut tanggung jawab sosok kepercayaan bupati ini.
Beruntung saat itu Sekda ada ditempat dan diterima dengan baik, dan tidak lama kemudian wakil bupati hadir ikut menerimanya.
Kondisi pemda KBB yang sedang tidak baik-baik saja ini tidak boleh terjadi berlarut-larut. Bupati wajib melakukan perubahan terhadap iklim biroksi pemerintahan seperti ini, manakala terjadi pembiaran akan berdampak rusaknya tatanan dan mekanisme birokrasi pemerintahan yang semestinya secara konsisten harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Akhirnya, yang perlu dicatat, keperdulian masyarakat KBB terhadap daerahnya saat ini mulai menunjukan responsibilitas. Jangan menunggu masyarakat menuntut sesuatu. Kewajiban Kepala Daerah dalam mengembangkan kehidupan demokrasi dibutuhkan kepekaan dalam menjalankannya. Wallohu A'lam.
Editor: Maji
