Logo
Nasional

AI tidak Bisa Menjadi Mufti, Begini Alasannya

Kiai Cholil Berbicara di Forum Internasional

AI tidak Bisa Menjadi Mufti, Begini Alasannya
Foto: freepik

Artificial intelligence (kecerdasan buatan) atau AI tidak bisa menjadi mufti (pemberi fatwa). Begini alasannya.


DARA | Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis menuturkan kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran manusia, dan unsur kesadaran harus ada ketika mengeluarkan fatwa.

Fatwa adalah pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan yang mendalam dan keakraban dengan realitas.

Kiai Cholil mengatakan itu dalam Konferensi Internasional ke-10 Sekretariat Jenderal Lembaga dan Badan Fatwa di Dunia di Kairo, Mesir, beberapa waktu lalu.

"Seorang mufti harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang yurisprudensi Islam. Meski kecerdasan buatan adalah karunia dan berkah yang besar dari Allah," kata Kiai Cholil seperti dikutip dari MUIDigital, Selasa (19/8/2025).

Kiai Cholil menekankan AI harus digunakan dengan bijaksana dan dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam membantu para peniliti dan sarjana untuk melakukan analisis yurisprudensi yang lebih akurat dan komperhensif.

Dia juga menegaskan AI tidak dapat menjadi mujtahid atau mufti. Dia menyampaikan AI dapat memberikan jawaban atas keputusan masalah yang dihadapi dan memberikan saran untuk pengambilan keputusan.

"Kecerdasan buatan dapat memberikan jawaban atas hukum masalah yang dihadapi dan memberikan saran untuk pengambilan keputusan. Namun tidak memiliki kesadaran manusia, dan unsur kesadaran harus ada dalam mengeluarkan fatwa," tuturnya.

Lebih lanjut, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah ini menerangkan, kecerdasan buatan bersifat anonim, yang membuatnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi mufti yang pendapatnya diikuti.

Dia menekankan bahwa mesin tidak dapat dipercayakan dengan beban tanggung jawab, karena keandalan mesin dalam mengeluarkan fatwa harus bergantung pada orang yang cakap dan berpengetahuan untuk memikul tanggung jawab tersebut, yang harus ada unsur manusia.

Kiai Cholil menjelaskan, fatwa adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan yang mendalam dan keakraban dengan realitas, sehingga seorang mufti harus memiliki pengentahuan yang mendalam tentang yurisprudensi Islam dan prosedur-prosedur dalam mengeluarkan keputusan hukum, disamping memahami realitas situasi yang dihadapi oleh si penanya.

"Fatwa adalah hasil ijtihad ilmiah yang mendalam berdasarkan Alquran, Sunnah, konsensus dan analogi, dan bahwa mufti haruslah seorang ulama yang memenuhi syarat yang dicirikan oleh kualitas pengetahuan, kejujuran dan keadilan, dan memahami teks-teks syariah dan realitas kontemporer," tuturnya.

Menurutnya lembaga-lembaga fatwa di dunia Islam, termasuk MUI, mengikuti metodelogi yang tepat dalam mengambil keputusan, termasuk mendamaikan antara mazhab-mazhab atau menimbang pendapat sesuai dengan aturan yurisprudensi komperatif, serta ijtihad kolektif dalam masalah-masalah yang muncul.

"Keberadaan mufti dan lembaga fatwa merupakan kebutuhan yang tak terhindarkan agar setiap fatwa dan keputusan yurisprudensi memiliki pihak yang bertanggung jawab di hadapan manusia dan Tuhan. Islam harus melakukan pendekatan terhadap perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan," ujarnya.

Editor: denkur