Saung Angklung Udjo juga kena dampak wabah corona. Langkah efisiensi dilakukan pihak pengelola demi bertahan hidup. Begini ceritanya.
DARA – Seperti diketahui Saung Angklung Udjo berdiri tahun 1966. Saung seni dan sudah jadi destinasi wisata ini kini terlihat sepi pengunjung. Itu terjadi sejak wabah corona dan diluncurkannya berbagai peraturan pemerintah terkait upaya mencegahan penularan Covid-19.
Direktur Utama PT Saung Angklung Udjo, Taufik Hidayat Udjo mengatakan, seiring diberlakukannya aturan pembatasan aktivitas kegiatan masyarakat oleh pemerintah selama hampir 10 bulan terakhir, agenda rutin pertunjukan maupun produksi angklung pun ikut dihentikan. Pasalnya, kegiatan yang digelar Saung Angklung Udjo kerap melibatkan banyak orang.
“Sebelum adanya pandemi, jumlah pengunjung yang datang bisa mencapai 2000-an per hari. Kalau sekarang, jangankan setengahnya, 20 orang seminggu saja sulit. Jadi, kalau enggak ada tamu yang datang, darimana biaya untuk menggelar kegiatan dan menggaji para karyawan, apalagi kami memiliki hampir seribu orang karyawan,” ujarnya, saat dihubungi, Minggu (24/1/2021).
Taufik memaklumi adanya kekhawatiran para tamu dan masyarakat bila terjadi aktivitas berkerumun dari pengunjung yang berkorelasi dengan potensi penyebaran Covid-19, dan bisa berujung jatuhnya sanksi oleh pemerintah.
Sebelum pandemi melanda tiap hari tamu selalu datang ke tempat destinasi wisata berbasis budaya tersebut.
Taufik mengutarakan, masyarakat bukan tak mau berkunjung ke tempatnya, namun mereka mengaku cukup terganggu dengan ketentuan aturan dan pengurusan syarat berkaitan protokol kesehatan yang berlapis-lapis.
“Pernah ada satu hari jumlah pengunjung yang datang hanya tiga orang, itu satu keluarga, bapak, ibu, dan anaknya. Tapi kami tetap menampilkan pertunjukan dengan personel lengkap, jumlah pemainnya 30 orang,” ujar Taufik.
Taufik mengatakan, langkah efisiensi diambil lantaran tidak adanya pemasukan, diantaranya merumahkan beberapa pegawai maupun memangkas setengah dari gaji penuh para karyawan.
“Kalau dirinci, yang membantu kita dulu itu para pemain angklung 400-an, pegawai 200-an, pengrajin sekitar 100-an lebih. Kemudian yang lain-lain supplier-nya, ditotal hampir 1.000 orang. Sekarang 96 persennya terpaksa dirumahkan, karena kami tidak ada cara lagi untuk membayar upah kerja keras mereka. Jadi hanya tersisa 40 orang, itupun upah mereka dibayar setengahnya,” ujar Taufik.
Ke-40 orang itu pun tidak seluruhnya kerja di saung, namun juga ada beberapa yang difasilitasi untuk berdagang dan juga ikut berkebun.
Taufik menekankan, demi memertahankan minat masyarakat, termasuk para wisatawan, terhadap pertunjukan edukasi budaya angklung, pihaknya melakukan upaya alternatif dengan menggelar konser virtual. Namun hal itu tak berdampak signifikan dan berimbas pada kondisi keuangan Saung Angklung Udjo.
“Kalau bulan pertama (Maret 2020) memang kita mampu bayar karyawan seratus persen, karena waktu itu masih ada tabungan untuk menutupi. Tapi kalau sekarang sudah habis karena sudah mau satu tahun, kondisinya tidak kunjung membaik,” ungkap Taufik.
Dirinya tak menyangkal telah berupaya mencari bantuan guna mengatasi persoalan ini.
Pihaknya, sambung Taufik, telah mengirimkan surat ke pemerintah daerah bahkan pusat, untuk meminta audiensi membahas keberlangsungan Saung Angklung Udjo kedepannya. Termasuk mencoba lakukan penggalangan dana melalui berbagai aktivitas kegiatan yang dilakukan anggota saung ini.
“Rencana kedepan saya tetap punya optimisme, karena berhentinya saung bukan saya sebagai pribadi tetapi juga ada banyak pasukan (karyawan) saya. Saya akan berjuang bagaimana caranya agar mereka bisa hidup,” tegasnya.***
Editor: denkur