Politik Uang Samar-samar

Kamis, 8 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di suatu sore berawan, seorang kawan calon anggota legislatif (Caleg) dari satu partai peserta Pemilu sengaja mampir ke rumah. Dia lebih senang berbincang di teras rumah yang tak begitu besar milik keluarga kami. Menurut dia, lebih nyaman berbincang di teras rumah. Karena maunya begitu, saya pun tak ambil pusing, meski berkali-kali saya ajak tamu yang akan berjuang menjadi anggota legislatif itu ke ruang tamu.

Dengan rasa nyaman, dia berbicara nyerocos soal tahapan kampanye Pemilu 2019 yang sudah berlangsung hampir satu bulan lebih. Dari mulai soal pendanaan, sampai ke peluang-peluang untuk menarik simpatik calon pemilih dan pemasangan alat peraga kampanye.

Dari perbicangan yang hanya berdua, saya dan dia kadang-kadang saya harus mengercitkan dahi. Betapa hebatnya kawan saya yang satu ini. Dia tak peduli soal pemasangan alat peraga kampanye yang didominasi oleh gambar dirinya itu. Dia tempel di pohon, di tiang listrik bahkan di tembok atau benteng pagar rumah orang.

Tak perlu ijin siapapun untuk memasang alat peraga itu. Tembok pagar rumah orang tempel saja. Soal nanti dicopot oleh pemilik rumah, itu resiko. “Saya nggak bakal marah,” katanya enteng.

Bisa jadi begitu dan enteng saja dia melakoni  masa kampanye itu. Dari perbincangan yang ringan dan asal nyerocos itu terbersit juga dalam pikiran saya, untuk mengevaluasi pelaksanaan kampanye ini. Tetapi alangkah eloknya jika evaluasi itu dilakukan bersama oleh  peserta, penyelenggara, dan masyarakat sebagai pemilih.

Ada ketidakjelasan dalam aturan kampanye yang kini berlangsung. Makanya kawan saya itu dengan sangat enteng, untuk melakukan apapun yang dianggapnya bisa dilakukan tanpa membentur aturan baku yang ada.

Maksudnya jika evaluasi itu ada, maka yang dievaluasi itu salah satunya adalah pada ketidakjelasan aturan atau pada aturan yang bias dan multitafsir. Misalnya, pada celah lubang yang  bisa dimanfaatkan peserta pemilu untuk melakukan banyak hal yang tidak diatur dalam aturan perundang-undangan.

Harap dimaklumi bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga kini sudah menerbitkan tiga Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur tahapan kampanye. PKPU itu adalah Nomor 23, 28, dan 33 Tahun 2018. Ini pun disusul oleh surat edaran yang juga dikeluarkan secara bersamaan oleh KPU.

Meski begitu, masih  banyak celah di lapangan yang begitu longgar untuk dieksploitasi oleh peserta Pemilu. Ambil contoh soal pemasangan alat peraga kampanye. Dalam PKPU, tercantum yang masuk dalam kategori peserta pemilu adalah partai politik, perseorangan untukyakni calon anggota DPD dan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Nah, untuk masing–masing caleg tak tercantum dalam aturan PKPU itu. Merujuk Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 1096 poin 12 huruf (e), disebutkan bahwa peserta pemilu dapat menambah alat peraga kampanye yang sama dengan desain dan materi yang difasilitasi KPU atau yang baru dengan memuat foto caleg di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Celah bolong yang bisa dieksploitasi peserta Pemilu yang bisa lolos dari ancaman sanksi adalah yang berkaitan dengan materi disebutkan dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Cermati saja Pasal 280 ayat 1 UU yang  menyatakan, “Dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.” Faktanya?

Merujuk pasda lampiran UU Pasal 286, materi lain yang dimaksud tidak termasuk barang-barang pemberian yang merupakan atribut kampanye pemilu, antara lain kaus, bendera, topi, dan atribut lain. Juga tidak termasuk biaya/uang makan dan minum peserta kampanye, biaya/uang transport peserta kampanye, biaya/uang pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau tatap muka dan dialog, serta hadiah lain sesuai dengan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan PKPU.

Mencermati pasal ini,  berarti peserta pemilu boleh memberikan biaya transpor, makan, dan minum dalam bentuk uang sesuai dengan nilai kewajaran suatu daerah. Tetapi dalam lampiran PKPU tidak tercantum berapa nilai kewajaran di masing-masing daerah. Dengan begitu sangat sulit membedakan mana ongkos politik dan politik uang. Jadi samar-samar.

 

Berita Terkait

Catatan Rakernas: SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE.
Menuju Etika & Hukum Sebagai Pondasi Politik Yang Berkeadilan di Indonesia
Jelang 2024 Soal Media , Jokowi Masih Adil
Catatan Diskusi: Evaluasi Akhir Tahun Bidang Ekonomi, Politik, dan Hukum
Kebijakan Baru Golkar dalam Penunjukkan Balon Kepala Daerah
Wina Armada.: Kiprah MKMK dan Menjadikan Dewan Pers Bukan Super Bodi
Simak Nih, Catatan Djamu Kertabudi Tentang Progres Pengendalian Inflasi Yang Dilakukan Bupati Bandung
Catatan Djamu Kertabudi: Dampak UU Baru Tentang ASN, Mengubah Mindset
Berita ini 109 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 20 Februari 2024 - 09:51 WIB

Catatan Rakernas: SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE.

Sabtu, 10 Februari 2024 - 13:47 WIB

Menuju Etika & Hukum Sebagai Pondasi Politik Yang Berkeadilan di Indonesia

Senin, 25 Desember 2023 - 22:27 WIB

Jelang 2024 Soal Media , Jokowi Masih Adil

Jumat, 15 Desember 2023 - 10:46 WIB

Catatan Diskusi: Evaluasi Akhir Tahun Bidang Ekonomi, Politik, dan Hukum

Jumat, 24 November 2023 - 09:52 WIB

Kebijakan Baru Golkar dalam Penunjukkan Balon Kepala Daerah

Jumat, 10 November 2023 - 00:56 WIB

Wina Armada.: Kiprah MKMK dan Menjadikan Dewan Pers Bukan Super Bodi

Selasa, 7 November 2023 - 12:40 WIB

Simak Nih, Catatan Djamu Kertabudi Tentang Progres Pengendalian Inflasi Yang Dilakukan Bupati Bandung

Senin, 6 November 2023 - 08:25 WIB

Catatan Djamu Kertabudi: Dampak UU Baru Tentang ASN, Mengubah Mindset

Berita Terbaru