Logo
Opini

Sertifikat Tanah, Ketika Mafia Bermain di Atas Derita Rakyat

Sertifikat Tanah, Ketika Mafia Bermain di Atas Derita Rakyat

Oleh: Baharudin, MZ, SH


Di tengah gemuruh pembangunan dan janji-janji reformasi agraria, di beberapa daerah di Indonesia justru menjadi saksi bisu dari sebuah ironi yang memilukan: maraknya praktik mafia tanah yang semakin merajalela. Bukan lagi sekadar isu yang dibicarakan diam-diam, fenomena ini kini menjadi kenyataan pahit yang menghantui banyak warga. Mereka yang selama puluhan tahun tinggal di atas tanah milik sendiri, kini dipaksa menghadapi kenyataan bahwa hak mereka bisa dilenyapkan hanya oleh selembar sertifikat palsu yang diterbitkan oleh pihak yang “berkuasa”.

Tanah Rakyat Direbut, Negara Diam?

Kejadian seperti ini tidak lagi menjadi kasus langka. Di sejumlah titik di Indonesia — dari pinggiran kota hingga kawasan berkembang — warga tiba-tiba mendapatkan somasi atau bahkan digugat atas tanah yang mereka warisi secara sah. Ironisnya, di balik semua itu seringkali ditemukan fakta mengejutkan: sertifikat ganda, surat jual beli palsu, dan keterlibatan oknum pejabat yang bermain di air keruh.

Bagaimana mungkin sertifikat tanah bisa diterbitkan atas lahan yang sudah bersertifikat lebih dulu? Bagaimana bisa satu bidang tanah tiba-tiba punya dua atau tiga pemilik secara hukum? Semua ini menunjukkan ada yang sangat keliru dalam sistem pertanahan kita — dan kekeliruan itu, sayangnya, bukan karena kelalaian semata, tapi lebih kepada praktik terorganisir yang menjurus pada mafia tanah.

Modus Operandi yang Terstruktur

Para mafia tanah ini bukan orang sembarangan. Mereka memiliki jaringan rapi dan struktur kuat. Modusnya bisa beragam, mulai dari memalsukan dokumen lama, bekerja sama dengan oknum di kelurahan atau kecamatan untuk menerbitkan surat keterangan palsu, hingga menyuap pejabat BPN agar memproses sertifikat baru di atas lahan orang lain. Tak jarang, notaris pun ikut terlibat, melegalkan transaksi-transaksi fiktif yang menjadi dasar “penguasaan legal” atas tanah yang sebenarnya milik warga.

Bagi warga biasa, menghadapi mafia tanah ibarat melawan raksasa tak kasat mata. Mereka tidak hanya melawan secara hukum, tetapi juga secara mental dan finansial. Proses hukum yang panjang, mahal, dan melelahkan membuat banyak warga akhirnya menyerah. Mereka kehilangan tanah, rumah, bahkan harga diri, sementara para mafia terus menambah kekayaannya dengan cara kotor.

Pemerintah Harus Turun Tangan Serius

Pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN memang sudah sering menyuarakan komitmennya untuk memerangi mafia tanah. Namun, pernyataan saja tidak cukup. Di lapangan, implementasi nyata masih sangat minim. Masyarakat masih ragu apakah aparat benar-benar berpihak kepada mereka, atau justru menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan praktik ini.

Kita butuh tindakan nyata. Audit menyeluruh harus segera dilakukan terhadap seluruh sertifikat tanah yang bermasalah, terutama di wilayah-wilayah yang selama ini rawan sengketa. Tim independen harus dibentuk untuk mengusut praktik mafia tanah, tanpa pandang bulu — apakah itu oknum di BPN, lurah, notaris, atau bahkan aparat penegak hukum sendiri.

Lebih jauh, sistem digitalisasi pertanahan yang selama ini dijanjikan juga harus segera diwujudkan secara menyeluruh, dengan pengawasan ketat dan transparansi data. Sertifikat tanah harus terintegrasi secara digital dan dapat diakses publik untuk mencegah manipulasi serta duplikasi.

Keadilan Agraria: Hak Dasar yang Wajib Dijamin Negara

Masalah ini bukan hanya soal legalitas kepemilikan tanah, tetapi soal hak dasar warga negara untuk hidup dengan tenang dan aman di tanahnya sendiri. Tanpa keadilan agraria, mustahil kita bisa bicara tentang keadilan sosial. Mafia tanah bukan hanya merampas aset fisik warga, tapi juga merampas harapan, rasa aman, dan kepercayaan terhadap negara.

Jika pemerintah gagal menindak mafia tanah dengan tegas, maka jangan salahkan rakyat jika mereka mulai kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum. Ketika hukum tidak lagi menjadi pelindung, maka hukum telah gagal menjalankan fungsinya yang paling mendasar.

Penutup

Kita tidak bisa membiarkan negara yang kita cintai ini, jatuh ke tangan para mafia tanah. Ini adalah ujian besar bagi integritas pemerintah, aparat penegak hukum, dan institusi pertanahan. Jangan sampai tragedi demi tragedi ini terus berulang, meninggalkan jejak luka bagi generasi mendatang.

Saatnya kita bertanya: apakah sertifikat tanah di wilayah Indonesia masih menjamin kepemilikan yang sah, atau justru menjadi alat para mafia untuk merampok secara legal? ****