OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
Tiga dimensi. Ruang, materi, dan energi. Itu adalah ‘pure’ tiga dimensi dari sisi ‘sains’. Lupakan! Tiga dimensi yang kini tengah berjalan adalah eskalasi serangan Israel terhadap “Swiss”nya Timur Tengah (Lebanon).
Sebagai pemerhati Timur Tengah (Timteng), saya melihat ada yang diinginkan PM Israel Benyamin Netanyahu dari eskalasi ini. Tiga dimensi pemikiran pemimpin Partai Likud ini: Pemilu Amerika Serikat (AS), memancing Iran pasca-terbunuhnya Ismail Haniyeh, dan mengalihkan image hancurnya Gaza.
Ketiga dimensi ini, semacam “cek ombak” (tes ‘the water’). Itu biasa dalam strategi politik dan berlaku universal. Kekuatan finansial kelompok Yahudi di “abroad”, menjadikan kekuatan Israel sangat inklusif.
Setelahnya, Netanyahu beserta Kabinet perang tinggal mengatakan. “The ball Is in your court”. Keputusan di tangan Anda! Dengan luas hanya 22.145 Km persegi (termasuk wilayah pendudukan), dan jumlah penduduk 9,6 juta (2022), kekuatan Israel sesungguhnya terletak pada koneksitas inklusif yang terhubung erat.
Pemilu Amerika Serikat (AS) yang akan berlangsung 5 November (sebulan plus seminggu lagi). Memiliki arti penting bagi PM Israel Benyamin Netanyahu dan koalisi sayap kanannya: Bezalel Smotrich (Menteri Keuangan), dan Ittamar Ben Gvir (Menteri Keamanan Dalam Negeri).
Netanyahu, ingin Pemilu AS bisa menjanjikan Israel dukungan kuat, lewat “pressure” “abroad” Yahudi di Kongres AS. Meskipun jumlah etnik Yahudi di AS hanya 2,4 persen (7,5 juta), namun penguasaan ekonomi, budaya, politik, dan sektor pendidikannya sangat kuat.
Dua capres AS Donald Trump (Republik) dan Kamala Harris (Demokrat), tentu juga harus menimbang kelompok etnis lain yang ingin AS menekan Israel. Untuk berdamai dengan Palestina. Dukungan suara mereka tak kalah penting.
Mark Weber, sejarawan University of Illinois mengutip sejumlah sumber, menyebutkan. Hampir separuh mirliarder di AS adalah Yahudi. Direktur Eksekutif tiga jaringan televisi terkenal, dan empat studio film besar, serta pemilik jaringan Koran terbesar AS. Adalah Yahudi.
Tidak ada celah bagi Presiden terpilih AS untuk menghindari isu pembelaan terhadap peperangan Israel versus Palestina-Hezbollah-Houthi-Suriah-Iran. Apalagi sosok-sosok Yahudi kaya di AS, tak segan menguras kocek dana bagi calon pemimpin-pemimpin AS. Demi membuncahkan kepentingan Israel.
Tak kalah penting, Yahudi memiliki 50 persen dari 200 intelektual AS, 40 persen pengacara di firma hukum Washington dan New York. Tentu yang juga menonjol untuk mempengaruhi “anak muda” (pendidikan), sekitar 20 persen profesor pada Universitas paling ternama AS, adalah Yahudi.
Serangan sporadis, hampir 1.600 target Hezbollah (dukungan Iran) di Lebanon Selatan, adalah “cek ombak”. Israel pernah tak menyukai Presiden Barack Obama (2015), ketika membuat kesepakatan nuklir dengan Iran di tahun itu.
Kesepakatan yang ditandatangani sejumlah kekuatan dunia, termasuk AS. Memberikan keringanan sanksi (ekonomi dll) kepada Iran. Kekalahan partainya Barack Obama (Demokrat), dalam Pemilu AS 2016, bisa saja karena kelompok kaya Yahudi (berpengaruh), tidak suka.
Pemilu yang kemudian dimenangkan oleh Donald Trump (Partai Republik), membuat Trump mencabut kesepakatan nuklir dengan Iran tahun 2018. Walaupun Iran telah setuju membongkar sebagian besar program nuklirnya. Juga mempersilahkan inspeksi Internasional (IAEA), AS (Trump) bergeming. Imbalan keringanan sanksi bernilai miliaran dolar, pun batal.
Namun versi lain menyebut. Dengan menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran (2015) tahun 2018, Trump sangat membahayakan Israel. Dengan begitu, sulit bagi AS mengetahui kemampuan nuklir Iran saat ini. Banyak yang menduga, Iran
makin dekat pada pembuatan senjata nuklir.
Pengaruh Yahudi AS terhadap kebijakan Luar Negeri AS, sangat kental terasa. Terlebih untuk kepentingan Israel. Sehingga 340 jutaan Rakyat AS, yang sebagian memprotes penderitaan warga sipil Gaza, tidak memperoleh penanganan setimpal.
Dimensi ke-2, setelah masalah Pemilu AS, dengan eskalasi massif terhadap Lebanon. Benyamin Netanyahu ingin meng-akselerasi serangan Iran ‘directly’ terhadap Israel. Hal ini, untuk memberi kepastian kepada rakyat Israel, atas ancaman pembalasan Iran pasca-Ismail Haniyeh (Kepala Biro Politik Hamas) terbunuh.
Ancaman berlarut-larut yang tak kunjung tiba. Memberi kecemasan tak berujung kepada rakyat Israel. Serangan lewat ‘proxy’ Iran di Utara Israel (Selatan Lebanon), tak memberi alasan kepada Israel untuk menyerang Teheran. Sekaligus membawa AS ikut masuk dalam kancah.
Iran sendiri faham keinginan Israel. Israel ingin ‘head to head’ memukul Iran, dengan melibatkan seluruh sekutunya di Eropa dan AS. Israel ingin memastikan kekalahan Iran lewat perang besar-besaran. Demi menciptakan keseimbangan baru geopolitik Timur Tengah.
Operasi “Nothern Arrow” (Panah Utara) yang saat ini tengah dilakukan Israel terhadap Lebanon. Adalah upaya memancing Iran, untuk masuk.
Presiden Iran Masoud Pezeshkian, seperti dikutip “The Times of Israel” mengingatkan. Israel ingin menyeret Iran ke pusaran konflik langsung. Dalam statemen jelang pertemuan Majelis Umum PBB (General Assembly) di New York, Pezeshkian menegaskan, Iran tak ingin jadi penyebab. Tak ingin memulai.
Di setiap bilah rumput, akan terlihat oleh mata manusia. Hasrat dan perbuatan sama halnya dengan dimensi. Dimensi yang dimaui Israel pada konflik Timur Tengah yang dimulai oleh Hamas (7 Oktober 2023), gampang dibaca.
Kehancuran Gaza, terbunuhnya lebih dari 41.000 jiwa lebih rakyat Palestina, dan (1.200 rakyat Israel), adalah proses “causa prima” (sebab-akibat). Ini adalah pembiaran untuk dicari pembenaran. Oleh siapa pun yang tidak mencintai harkat manusia.
Serangan Israel ke Lebanon (menyerang Hezbollah). Dengan korban lebih dari 500 orang , merupakan dimensi ke-3 yang harus dilakukan Israel untuk mengalihkan perhatian dunia. Dengan begitu, masalah Gaza akan dilupakan secara gradual.
Tiga dimensi konflik Timur Tengah saat ini, adalah satu produk imajinasi. Produk yang berangkat dari ide pembentukan negara Israel, lewat “Deklarasi Balfour” (1917).
Deklarasi Balfour berisi imajinasi dan ide pendirian “Rumah Nasional bangsa Yahudi”, di Palestina. Yang saat itu adalah wilayah Utsmaniyah, dengan populasi Yahudi sebagai minoritas.
Ilustrasi yang kemudian mengubah imajinasi menjadi ide inilah. Yang menjadi akar konflik Timur Tengah tak berkesudahan. Tiga dimensi Netanyahu saat ini, tentu akan melahirkan konsekwensi logis akut. Atau sebaliknya.
Berdamai, dan ikuti saran AS, PBB, dan dunia. Solusi dua negara di tanah yang sama. Hidup berdampingan saling menghormati antara bangsa Israel dan Palestina.
Meminjam kata-kata PM ke-4 dan salah satu pendiri Israel, Golda Meir. “Negara-negara Arab walau kalah berperang dengan Israel. Tak akan punah. Namun, bila Israel kalah, negara ini tak akan ada lagi”.
Jadi, berdamailah Israel dan Palestina. Inilah kunci komprehensif penyelesaian konflik di Jazirah Arab.