OLEH: Sabpri Piliang (Wartawan Senior)
“Duri dalam daging” perdamaian Israel-Hamas (baca:Palestina), masih sangat akut. Apa yang diupayakan Trio: AS, Mesir, dan Qatar saat ini di ‘Putaran Doha’, sepertinya akan sia-sia belaka.
Pernyataan Menlu AS Antony J. Blinken, bahwa peluang kini. Adalah kesempatan terakhir untuk berdamai, mengingatkan kepada semua pihak yang bertikai (Israel dan Hamas), agar mundur selangkah, demi kemanusiaan. Bila tidak, perang regional, sudah di ‘ambang pintu’!
Makna kesempatan terakhir, satu penghalusan kata dan linear. Antony J. Blinken tidak terlalu yakin, perang kawasan “Dog Fight”, antara Hamas dan Israel di satu sisi. Lalu perang antara Israel, dengan ‘proxy’ Iran di sisi lain (Hezbollah/Lebanon & Houthy/Yaman), bakal terhindari.
Lebih jauh lagi, perang langsung antara Iran-Israel, sangat mungkin terjadi dalam waktu dekat. Hasrat untuk berperang “head to head” dengan Israel, bagi Iran telah memenuhi syarat. Menghabisi tamu ‘seremonial’ pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian (30 Juli), adalah satu prasyarat yang dianggap Iran sebagai melintasi ‘garis merah’.
Membunuh kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh di Teheran, menghina ‘harga diri, harkat, dan martabat negara para Mullah ini. Iran akan di-‘branding’ sebagai negara yang gagal menjaga tamu kehormatannya. Iran, secara implisit dipersalahkan, atau merasa ‘bersalah’. Iran sangat tersinggung.
Berkejaran dengan ‘deadline’. Berpacu mencegah perang besar yang telah memenuhi syarat (satu sisi). Terasa anomali dan paradoks, di sisi lainnya. Betapa tidak! Hamas mau datang dan berunding, dengan syarat gencatan senjata dilakukan secara permanen.
Sementara Israel kekeh menginginkan. Kesepakatan apa pun dalam perundingan 15 Agustus lalu di (Doha), tidak boleh membatasinya untuk melanjutkan perang. Padahal AS sendiri telah berulangkali menyatakan, kesepakatan kali ini akan mengakhiri konflik yang telah berusia hampir 11 bulan.
Di awal tulisan ini, saya menyebut “Duri dalam Daging”. Menlu AS telah bolak-balik, sebanyak sembilan kali mengunjungi Ibukota Israel, Tel Aviv dan Timur Tengah, setelah peristiwa “Banjir Al Aqsa (7 Oktober 2023). Semua untuk upaya perdamaian Hamas-Israel. Sekaligus memulangkan sandera Israel oleh Hamas, dan tahanan Palestina oleh Israel. Israel bergeming, alias ‘cuek’.
Rasanya, sudah terlalu sering penerbangan Antony J. Blinken dari Bandara Ronald Reagan (Washington DC) ke Bandara Ben Gurion (Tel Aviv), sejauh 5.890 mil (9.479 kilometer). Misi ‘ulang alik’, meminjam idiom (istilah) pesawat luar angkasa, terasa meletihkan Blinken. “Momen yang menentukan. Mungkin kesempatan terakhir membawa sandera pulang,”kata Blinken, usai bertemu Presiden Israel Isaac Herzog, Senin (19/8).
Ya, “Duri dalam Daging”, sekali lagi. PM Israel, Benyamin Netanyahu saat ini, dihadapkan dalam pilihan sulit untuk mengakhiri perang “paling kejam”, dalam satu dasawarsa terakhir. Demo-demo untuk memulangkan sandera, terus merebak di negara Zionis ini.
“Pressure” itu tak mudah dipenuhi oleh Netanyahu yang berasal dari Partai Likud. Dua tokoh ‘Sayap Kanan’, yang menopang kekuatan PM Benyamin Netanyahu, di Kenesset (Parlemen): Ittamar Ben-Gvir (Partai Otzma Yehudit/Kekuatan Yahudi), dan Bazalel Smotrich (Aliansi Partai Jewish Home-Tkuma), bisa menjatuhkan Netanyahu, bila berbeda pandangan soal Palestina.
Kedua tokoh garis keras Israel yang masing-masing mempunyai posisi ‘menentukan’ di Pemerintahan: Menteri Keamanan Dalam Negeri (Ittamar Ben-Gvir), dan Menteri Keuangan (Bazalel Smotrich), mempunyai kursi gabungan 14 (hasil Pemilu 2022). Sementara Partai Likud, partai asal Benyamin Netanyahu memperoleh 32 kursi.
Benyamin Netanyahu bermitra koalisi dengan Smotrich dan Ben-Gvir, setelah dia ditinggalkan oleh sekutunya yang lebih moderat untuk perdamaian dengan Palestina, Naftali Bennet.
Dengan janji akan menghapuskan semua pelanggaran Netanyahu selama 12 tahun menjadi PM (2009-2021), Netanyahu tak berkutik berada dalam tekanan Smotrich dan Ben-Gvir yang ingin terus berperang hingga Hamas terhapus dari Gaza, di periode ke-6 jabatannya saat ini.
Dengan jumlah kursi Kenesset 120 buah, dan koalisi penopang Pemerintahan mantan Dubes Israel untuk AS ini sebanyak 64 kursi (koalisi sejumlah partai kanan). Maka, bila Bazalel Smotrich dan Ittamar Ben-Gvir (dua tokoh radikal anti-Arab) menarik dukungan kursinya (14 kursi).
Dipastikan, PM Benyamin Netanyahu akan “jatuh”, dan Israel harus mengadakan Pemilu secepatnya. Masalahnya, situasi sekarang sedang berperang
Seandainya pun Pemilu dilakukan saat ini, pada (jajak pendapat Channel 12 11) Pebruari lalu. Popularitas Partai Likud mengalami penurunan drastis. Dari 32 kursi yang didapat pada Pemilu 2022, hanya tinggal 18 Kursi saja.
Sementara Partai seteru Netanyahu, Partai Persatuan Nasional memperoleh 37 kursi. Partai Pimpinan Benny Gantz yang telah mundur dari Kabinet Perang Netanyahu, akan lebih mudah membentuk koalisi dan menyusun Pemerintahan baru. Itu, kalau Smotrich dan Bazalel menarik dukungannya pada Netanyahu.
“Duri dalam Daging”. Dalam wawancaranya dengan “Time”, PM Israel Benyamin Netanyahu (4 Agustus lalu) mengatakan, dia tidak mempunyai alternatif. Tak punya pilihan. Karena Pemerintahannya adalah koalisi.
“Time” dalam ulasannya menyebutkan, Pemerintahan Netanyahu didominasi oleh kelompok kanan (agama). Konsekwensinya, dia harus memberi mereka portofolio (kementerian) yang penting dan berpengaruh.
Keduanya, tidak memiliki Kualifikasi profesional, sehingga merusak perdamaian yang mestinya sudah harus dilakukan. Beberapa partai, tambah Netanyahu. Bisa saja bergabung dengannya, namun itu tidak dilakukan. Mereka menolak, karena ada Smotrich dan Ben-Gvir.
Netanyahu, memang rapuh, karena para penopangnya saat ini, mayoritas berasal dari garis keras (sayap kanan). Ada pertai yang lebih moderat, namun sayangnya menyatakan mundur di awal Perang Oktober.
“Saya senang, ketika partai Persatuan Nasional pimpinan Benny Gantz bergabung di koalisi. Saya Sedih melihat mereka pergi (Juni 2024). Begitulah cara Kue demokrasi hancur,”kata Netanyahu, seperti dikutip “Jerusalem Post” (19/8).
Bazalel Smotrich dan Ittamar Ben-Gvir adalah “Duri dalam daging” perdamaian Israel-Hamas. Hingga Kabinet ke-29 (hasil Pemilu 2022 Israel), inilah Kabinet yang paling keras dalam sejarah peperangan dengan kelompok Palestina.
Pembicaraan Trio Perdamaian plus Israel, yang sudah berakhir di Doha (Qatar), kemarin. Rencananya, akan dilanjutkan di Kairo (Mesir), yang mungkin juga tak akan dihadiri oleh perwakilan Hamas.
Negara Israel yang pernah punya tokoh agak moderat dan pragmatis, seperti: Simon Perez, Yitzhak Rabin, Manachem Begin, Tzipy Lyvni, kini menemui jalan terjal. Hancurnya perekonomian, pariwisata yang ‘lelayu’, penerbangan runtuh, mestinya melunakkan hati koalisi Netanyahu, dan waktunya berdamai dengan Hamas (Palestina).
Tentu Yasser Arafat, tokoh legendaris Palestina akan bahagia “melihat” dari kejauhan. Berakhirnya pertumpahan darah Israel-Palestina. Sayangnya, lagi-lagi, ada “Duri dalam Daging”. Dan, Netanyahu, pun tidak berdaya.
Siap-siaplah melanjutkan pertumpahan darah. ‘El classico’ 75 tahun, tak akan pernah berakhir. Tak akan pernah sudah. Kuncinya, di tangan Ittamar Ben-Gvir dan Bazalel Smotrich.