OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
PEDRO SANCHEZ berteriak sendirian! Emmanuel Macron bimbang! Keir Starmer (Inggris) lewat Menlu David Lammy, kehilangan definisi!
Pedro Sanchez, Perdana Menteri (PM) Spanyol seperti kehilangan kesabaran melihat brutalitas Israel. Cara memburu Hamas yang tidak “normal”, identik dengan genosida. Dunia diam! Tapi Spanyol tidak!
Perancis malu! Inggris malu! Reaksi tegas kedua negara sekutu AS ini, baru sebatas definisi. Pembantaian “ala Israel” bak zaman “kegelapan”, kembali ke “zaman batu”!
Tak ada lagi “polisi dunia”. Semua “disorder”! AS, Inggris, dan Perancis terus beretorika “eufhemisme”!
Ketiganya tak mampu (tak mau) menghentikan brutalitas, dengan cara kuasa mutlak “Security Council” (Dewan Keamanan)!
Lazimnya, sebagai pemilik “powerfull” anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Mestinya bisa, dan sudah “deadline (waktunya)” menyudahi brutalitas ini.
Polarisasi, mulai mencuat di kabinet Inggris. Brutalitas tak seimbang, antara senjata Israel versus rakyat Palestina. Telah “membelah” kabinet Inggris yang tadinya homogen. Laksana “Deklarasi Belfour”. Semua seperti kehilangan sensitifitas kemanusiaan.
Alam “bawah sadar” “humanitarian” siapa pun, akan mengatakan. Bangsa Inggris, Perancis, AS, dan “state nation” lain, mestinya malu melihat pembantaian “abnormal” Gaza! Siapa yang pantas dan bisa menghentikannya!
Sebagian menteri Inggris saat ini berada dalam tekanan politik. Pengakuan Inggris atas Palestina yang mulai di-“gadang-gadang”, menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap metode Israel melenyapkan Hamas.
Perancis yang juga begitu! Kalimat kecaman Macron ke Israel, “lamat-lamat hilang ditelan tangisan anak-anak Gaza yang tak terperikan.
Sementara Trump menduplikasi ucapannya. Menjadikan Gaza sebagai tempat yang indah. Ini tidak substantif, bukan ‘statement’ itu yang dibutuhkan saat ini. Tidak mendesak!
Sementara Israel melajukan bom-Bom tanpa belas kasihan. Alih-alih memburu Hamas yang dianggap telah “membangunkan Israel”, anak-anak dan wanita serta sipil Gaza yang “dibersihkan.
Spanyol, Norwegia, dan Irlandia yang memelopori pengakuan terhadap berdirinya negara Palestina. Belum menghasilkan apa-apa. Bersandi “Operasi Kereta Gideon”, hari-hari ini, Israel mempertontonkan sesuatu yang seharusnya bisa dihentikan!
PM Pedro Sanchez (Spanyol), tak punya daya. Karena Perancis, Inggris, tak memiliki nyali untuk mengakhiri sepakterjang Israel.
Sebenarnya ada satu jalan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. Tadinya, banyak yang berharap. Kunjungan Donald Trump ke Arab Saudi (pekan lalu), menjadi “win win” solution “saling berbalas”.
Arab Saudi mau mengakui Israel, yang kemudian diikuti oleh pengakuan Israel terhadap “negara Palestina”. Namun, kembali pada kekuatan ‘lobby’ Yahudi di Kongres AS. Trump tak berani melangkah sejauh itu.
AS sendiri telah memveto pengakuan penuh Palestina di PBB (April 2024). Sementara Inggris yang ingin menjaga marwah kemanusiaannya, tak mau kehilangan dukungan dari Yahudi dunia. Inggris abstain.
Perancis? Perancis yang melihat Spanyol, Irlandia, Swedia, Slovenia, dan Norwegia tegas sudah mengakui Palestina. Tak tertahan! Ikut mendukung keanggotaan penuh Palestina.
Satu artikel di “Le Monde”, pekan ini menyebut. “Pengakuan merupakan keharusan moral dan kebutuhan politik, serta satu-satunya cara Perancis. Untuk lolos dari paradoks diplomatik yang tak bisa ditunda. “Solusi dua negara”!
Semua itu tak berarti! AS dan Inggris yang merupakan anggota tetap DK, serta memiliki hak veto. Mementahkan dukungan tiga anggota tetap DK lain (Rusia, China, dan Perancis) terhadap eksistensi Palestina.
Hari-hari ini! Rakyat Gaza makin menderita. Serangan bom secara “random sampling”. Ditambah blokade darat untuk makanan-selimut-medis, telah menjadikan Gaza entitas “paria” yang teramat nista.
Kita semua malu! Menonton sesuatu yang mestinya bisa diakhiri di Gaza. Dunia semakin ‘disorder’!