Menurut pengalaman Sammaria, ketika dirinya membuat film tentang keresahan-keresahan di masyarakat maupun film yang sifatnya edukasi, sering mendapat tantangan dalam regulasi.
DARA| Film menjadi salah satu medium yang bisa digunakan untuk sarana mengedukasi masyarakat. Namun bagi insan perfilman sendiri, tidak mudah karena sering bersinggungan dengan regulasi dan biaya yang tidak murah.
Hal itu menjadi bahasan penting dalam webinar yang digelari oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat yang berkolaborasi dengan Rumpun Indonesia.
Webinar tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2022 yang mengusung tema “Berkebudayaan, Berkemanusiaan”, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bersama Rumpun Indonesia menggelar rangkaian webinar dengan tema”Berekspresi dan berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan adalah hak setiap anggota masyarakat”
Hadir sebagai narasumber dalam webinar tersebut yakni Anggi Frisca dari Aksa Bumi Langit dan Sammaria Simanjuntak dari Pomp Film.
Sammaria mengatakan, saat ini film masih dianggap sebagai hiburan, bukan sebagai sarana apresiasi dan edukasi masyarakat. Selain itu tantangannya adalah dari regulasi dan biaya yang tidak murah.
“Film saat ini masih dianggap sebagai hiburan. Namun saya berandai-andai, film itu bisa menjadi hak setiap masyarakat, bisa menjadi ruang inklusif dari semua strata jenis, latar belakang yang bisa mendapat ruang yang nyaman dan dapat diakses untuk semua lapisan masyarakat. Namun mungkin film itu unik ya, karena bidang seni yang sangat mahal,” ujar Sammaria, Selasa (20/12/2012).
Menurut pengalaman Sammaria, ketika dirinya membuat film tentang keresahan-keresahan di masyarakat maupun film yang sifatnya edukasi, sering mendapat tantangan dalam regulasi.
“Waktu saya bikin film kedua (Film “Demi Ucok”), ini ceritanya tentang seorang ibu yang pengin anaknya nikah. Saya pikir film dengan cerita seperti itu akan aman-aman saja. Namun saya kena sensor lagi gara-gara posternya ada kaki seorang ibu di kepala orang. Padahal maksud kita surga itu ada di telapak kaki ibu. Namun di luar itu, tantangannya memang film itu sangat mahal terutama film layar lebar,” jelasnya.
Sehingga, lanjutnya, untuk membuat film sebagai medium inklusif yang setara itu memang perjalanan yang cukup panjang. “Namun saat ini ada harapan karena harga produksi semakin murah. Sekarang siapapun yang punya hp bisa menyuarakan apa yang dia inginkan walaupun mungkin untuk bisa masuk ke bioskop atau festival masih sulit,” ungkap Sammaria.
Sementara itu menurut Anggi, pihaknya melihat hal yang cukup dinamis di tengah prinsip kebudayaan yang terjadi saat ini dalam aspek kreatif terutama film. Menurutnya butuh waktu yang sangat panjang dan butuh usaha yang tidak mudah untuk mewujudkannya.
“Waktu tahun 2014 saya mencoba bikin film Negeri Dongeng. Di mana waktu itu saya merasa mungkin dari sebuah tema perjalanan bisa melihat wacana apa sih yang bisa hadir terkait diri kita sendiri atau rasa bangga dengan Indonesia lewat alam. Ini bukan sekadar film, tapi ada bentuk gerakan setelah dari filmnya selesai,” ujarnya.
Anggi juga mengatakan, bahwa persepsi terhadap film yang identik dengan hiburan semacam hambatan di dalam proses edukasi publik melalui film-film. Tak hanya itu, misi kreatif dan edukasi dari pada produsen film juga sering berbenturan dengan investor.
“Sebenarnya banyak teman-teman yang bergerak dengan misi kreatif dan edukasinya soal kemanusiaan. Yang paling berat mungkin tidak terdengar karena masuk ke ranah bioskop ini perjuangannya luar biasa. Ketika menawarkan sebuah film yang misinya kemanusiaan kepada investor juga mereka suka tarik mundur, untungnya apa buat mereka,” ungkapnya.
Meski begitu, pihaknya optimis dengan berkolaborasi dengan berbagai pihak, film bertema edukasi dan isu sosial bisa lebih maju. “Tapi saya coba belajar bagaiman mengaplikasikan ini sebagai proses belajar, karena upaya-upaya sedang dilakukan dan bagaimana caranya bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak,” ujar Anggi.
Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat Febiyani mengungkapkan, fim memiliki peranan penting di era saat ini karena kebutuhan masyarakat terutama generasi muda terhadap visual sangat tinggi.
“Film punya peluang yang tinggi untuk menjadi media yang lebih bisa diterima oleh generasi muda. Mungkin kalau zaman saya lebih ke teks book. Kalau anak-anak sekarang saya pikir film atau hal-hal lain yang bersifat visual menjadi media edukasi atau media yang bersifat internalisasi nilai,” ujarnya.
Editor: Maji
Discussion about this post