Serikat buruh atau pekerja masih belum menerima SK Gubernur terkait UMK di Jawa Barat. Mereka ingin Diktum 7 (d) dicabut dari SK No. 561/Kep.983-Yanbangsos/2019 tentang UMK itu.
DARA | BANDUNG – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat mempersilakan pihak yang tak setuju atas SK Gubernur Jawa Barat Barat terkait UMK 2020 untuk melakukan langkah hukum. Namun jika mendukung dengan SK No. 561/Kep.983-Yanbangsos/2019 tentang UMK tersebut, ia mengajak untuk merumuskan mekanisme yang belum diatur.
“Jika terus berdebat tidak akan selesai sampai sore. Jika memang tak puas dengan SK Gubernur terkait UMK ini, khususnya diktum 7 (d) yang banyak dipersoalkan, silakan tempuh jalur hukum. Namun jika kita mendukung keputusan gubernur mari kita bicarakan mekanisme yang harus diatur selanjutnya dibicarakan di sini,” katanya, saat menggelar pertemuan dengan serikat buruh/pekerja, dewan pengupahan kabupaten/kota (DPK), LKS Tripartit, dan Apindo, di Bandung, Jumat (6/12/2019).
Pihaknya telah menyiapkan draft mekanisme untuk penangguhan upah tersebut. Ade juga mengingatkan semakin mendesaknya waktu, perlu langkah dan antisipasi yang cepat untuk mengatasi persoalan ini.
Ia meminta kearifan semua pihak untuk menyikapi persoalan UMK ini. Kalaupun harus dilakukan langkah hukum, lanjut dia, memerlukan waktu yang lebih panjang lagi. Sementara waktu realisasi dari SK Gubernur ini, menurut dia, sudah semakin mendesak.
Ia menyebutkan, pasca penetapan SK Gubernur terkait UMK, banyak kalangan buruh mempersoalkan diktum 7 (d). Diktum tersebu, menyebutkan, dalam hal pengusaha tidak mampu membayar UMK, dapat mengajukan penangguhan UMK kepada Gubernur Jawa Barat melalui Dusnakertrans Jawa Barat, paling lambat Desember 2019.
Disebutkan pula, pada huruf (d), dalam hal pengusaha termasuk industri padat karya tidak mampu membayar UMK, pengusaha dapat melakukan perundingan bipartit bersama pekerja/buruh atau serikat pekerja di tingkat perusahaan dalam menentukan besaran upah, dengan persetujuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat.
Salah seorang buruh yang hadir pada acara tersebut, Ajay, menilai, perundingan bipartit itu tak menguntungkan buruh, karena memberi ruang kepada pengusaha untuk membayar upah rendah. “Jika memang dilakukan perundingan bipartit, lalu patokan upahnya dari mana? Apakah dari UMK 2020 atau UMK tahun sebelumnya? Atau bagaimana jika patokannya dari UMP?” ujar Ajay, kepada wartawan.
Karena itu, pihaknya secara tegas menolak diktum terkait upah padat karya ini. Ia tetap meminta gubernur mencabut pasal yang dinilai merugikan buruh atau pekerja itu.***
Editor: Ayi Kusmawan