Aksi penolakan para kepala desa terhadap bantuan penanganan wabah corona dari Provinsi Jawa Barat terus bergulir. Selain di Subang, hari ini aksi itu juga terjadi di Sukabumi dan Garut.
DARA | GARUT – Alasan penolakan bantuan itu, umumnya karena terlalu jauhnya jumlah orang yang diajukan pemerintahan desa dengan jumlah yang disetujui pihak provinsi, sehingga para kepala desa khawatir terjadi gejolak di masyarakat.
Kepala Desa Karyasari Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut, Gaya Mulyana mengatakan, bagaimana tidak khawatir jumlah warga yang menerima bantuan jauh lebih sedikit dibanding jumlah yang diajukan pihak desa ke provinsi.
Gaya mencontohkan, jumlah kepala keluarga (KK) yang diajukan dari desanya untuk mendapatkan bantuan berdasarkan hasil pendataan mencapai 1.600 KK. Namun, yang disetujui pihak provinsi hanya 82 KK.
“Makanya ini pasti akan menimbulkan konflik. Apalagi warga sudah terlanjur tahu akan mendapatkan bantuan karena sejak awal sudah digembar-gemborkan pemerintah di media,” ujarnya, seperti dikutip dari galamedianews.com, Selasa (28/4/2020).
Gaya menandaskan yang jadi korban adalah aparat desa, juga para ketua RW dan RT. Mereka bisa saja menjadi sasaran kemarahan warga karena yang bersentuhan langsung dengan warga.
Menurut Gaya, pemerintah provinsi menggunakan data terdahulu untuk daftar nominatif penerima bantuan dampak Covid-19 ini, sehingga orang yang terdaftar pun rata-rata mereka yang sudah mendapatkan bantuan seperti program PKH dan BPNT. Sedangkan warga yang belum mendapatkan bantuan sesuai hasil pendataan pihak desa justeru tak terakomodir.
“Makanya kami putuskan untuk menolak dulu bantuan tersebut sebelum ada peninjauan ulang terkait jumlah warga yang akan mendapatkannya. Kalau dilanjutkan, kan kasihan nanti ketua RW dan RT bisa-bisa jadi sasaran kemarahan warga yang tak mendapat bantuan,” ujarnya.
Gaya berharap, aturan yang digunakan dalam penyaluran bantuan ini tidak kaku. Kalau memang anggaran yang disediakan pemerintah sangat terbatas, maka sebaiknya pemerintahan desa diberi keleluasaan untuk menggunakan kearifan lokal berupa hasil musyawarah desa, termasuk dengan cara pemerataan bantuan kepada masyarakat.
Masih dikutip dari galamedianews.com, hal senada diungkapkan Kepala Desa Cintarasa, Kecamatan Samarang, Sirod. Ia menyebutkan, jumlah warga yang diajukan untuk mendapatkan bantuan di desanya ada 1.100 KK, namun yang disetujui hanya 73 KK.
Sirod pun mengaku bingung dengan kondisi ini, karena jika dipaksakan diterima sudah tentu akan menimbulkan permasalahan baru dan konflik di masyarakat. Di sisi lain jika ditolak, bisa menimbulkan dampak buruk kepala desa karena bisa menjadi sasaran kemarahan gubernur.
“Terus terang saya benar-benar bingung, mau diterima bagaimana, ditolak juga bagaimana. Pasalnya kuota dari provinsi soal jumlah KK yang akan mendapatkan bantuan terlalu jauh dengan jumlah yang telah kami data dan ajukan,” ujarnya.
Bahkan diungkapkan Sirod, ada beberapa desa di Kecamatan Samarang yang jumlah penerima bantuan dari provinsi jauh lebih sedikit dan kurang dari satu persen, seperti di Desa Tanjung Anom. Dari seribuan yang diajukan hanya 3 KK saja yang disetujui, sehingga kepala desanya juga kini sangat kebingungan.
Sirod menuturkan, selain bantuan dari gubernur, pihaknya juga menyayangkan bantuan penanganan Covid-19 yang bersumber dari dana desa (DD) yang juga dinilainya rawan menimbulkan konflik. Hal itu karena kriteria penerima bantuan terlalu sulit, sehingga jarang sekali ditemukan warga dengan kriteria seperti itu.
Sementara itu Ketua Apdesi Kabupaten Garut, Asep Basyir, membenarkan adanya penolakan penyaluran bantuan Covid-19 dari gubernur oleh sejumlah kepala desa di Kabupaten Garut.
Menurut Asep, selain karena jumlah warga yang akan mendapatkan bantuan yang terlalu jauh dari yang sudah diajukan pihak desa, penolakan juga diakibatkan sistem penyalurannya yang juga dianggap ngaco.
Asep menyebutkan, sistem penyaluran dari gubernur ini alurnya terlalu ribet. Dari gubernur batuannya disalurkan melalui Dinsos, selanjutnya ke kecamatan, Bulog, Pos Giro, dan kemudian disalurkan ke masyarakat dengan menggunakan jasa Gojek.
“Alur penyalurannya pun sudah ngaco seperti itu. Apalagi terakhirnya, penyaluran ke masyarakat dilakukan dengan menggunakan jasa Gojek yang tentu sangat rawan,” ujar Asep yang juga Kepala Desa Sukarame, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut ini.
Kerawanan dalam penyaluran bantuan gubernur ini, terang Asep, dikarenakan dari realisasinya saja yang sudah jauh dari apa yang diajukan pihak desa. Seperti di desanya, dari 2.400 KK yang diajukan, namun hanya 86 KK saja yang disetujui sehingga dipastikan akan menimbulkan konflik.***
Editor: denkur