DARA I SUKABUMI – Potensi gempa dengan magnitudo tinggi akibat pergeseran sesar Cimandiri harus diantisipasi. Potensi yang ditimbulkan bisa mencapai 6,5 sampai 6,7 magnetudo.
Peneliti dari Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (PPMB ITB), Nurani Rahma Hanifa, mengatakan, sesar Cimandiri terdiri atas tiga segmen, yakni Cimandiri, Nyalindung Cibeber ,dan Rajamandala. Panjang sesar Cimandiri keseluruhan segmen mulai dari Loji Palabuhanratu sampai Rajamandala dengan bentangan sekitar 100 kilometer.
“Berdasarkan pemetaan Pusat Studi Gempa Nasional, potensi yang ditimbulkan bisa mencapai 6,5 sampai 6,7 magnetudo,” kata Nurani saat Rakor Penanggulangan Bencana di Kawasan Selabintana Kabupaten Sukabumi, Kamis (24/10/2019) siang.
Nurani Rahma Hanifa. Foto: dara.co.id/Hanif
Antisipasi yang harus dilakukan, menurut Nurani, pemerintah bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) memasang papan informasi berisi garis sesar Cimandiri. Masyarakat tidak mendirikan bangunan di atas patahan, karena sangat sulit dilakukan mitigasi.
“Membangun bangunan sesuai dengan kode bangunan yang berlaku yang tahan gempa atau menggunakan rumah tradisional yang ikatan antara kayu atau beton dibikin kuat,” ujar dia.
Selain itu, lanjut alumnus ITB ini, membangun rumah harus mempetimbangkan kekuatan terhadap gempa. Perabotan rumah yang mudah jatuh harus diikat agar tidak menimpa penghuni rumah dan menyediakan tempat yang aman di dalam dan di luar rumah.
“Kalau kemungkin kita sulit langsung ke luar rumah, kita sediakan tempat yang aman di dalam rumah, misalnya meja yang kuat sebagai tempat berlindung yang kuat menahan bila langit-langit rumah jatuh. Jika rumah dekat dengan laut, agar dibuat jalur evakuasi tsunami yang mudah dilalaui,” katanya.
Ia menambahkan, gempa bisa menimbulkan longsor, tsunami, litifikasi, wabah penyakit, dan kebakaran. Untuk itu, rencana harus dilakukan disemua level, mulai dari rencana strategi untuk diri sendiri, keluarga, tingkat RT, dan RW, kelurahan dan desa, hingga tingkat kecamatan dan kabupaten.
“Kita harus punya rencana bertahan hidup selama 72 jam. Misalkan untuk pribadi punya tas siaga bencana, untuk level kabupaten punya alat untuk evakuasi, karena bisa saja harus mengevakuasi korban yang tertimpa dan mengobati pasien,” ujar Nurani.
Hal lain yang perlu disiapkan, menurut dia, makanan dan kebutuhan MCK. Alasannya, jika terjadi bencana, kemungkinan akan terjadi pengungsian.
“Baik pengungsi maupun yang mengevakuasi sangat membutuhkan MCK. Lokasi pengungsian juga harus direncanakan mulai sekarang,”katanya.***
Wartawan: Hanif | Editor: Ayi Kusmawan