DARA | JAKARTA – Oesman Sapta Odang (OSO) mencalonkan diri sebagai caleg DPD di daerah pemilihan Kalimantan Barat. Tanggal 12 Agustus 2018 sudah masuk Daftar Calon Sementara (DCS). Namun, polemik terjadi ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pengurus partai tidak boleh menjadi calon anggota DPD. Putusan MK ini dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 2018 dengan Nomor 30/PUU- XVI/2018.
Berdasarkan putusan tersebut KPU merevisi Peraturan KPU (PKPU) 14 tahun 2018, menjadi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 terkait pencalonan perseorangan peserta pemilu anggota DPD. Dalam revisinya KPU menambahkan syarat mundurnya pengurus partai politik yang akan maju sebagai calon anggota DPD, serta mekanisme penyerahan surat pengunduran diri.
Saat penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) yang dilakukan KPU 20 September 2018, nama OSO tidak masuk dalam DCT. Alasannya OSO tidak menyerahkan surat pengunduran diri, sebagaimana syarat yang telah ditentukan.
Lalu OSO melaporkan KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dugaan pelanggaran administrasi dan pencoretan dirinya dari DCT. Hasilnya dalam putusannya, Bawaslu menyatakan KPU tidak melakukan pelanggaran. Aturan KPU terkait pencalonan anggota DPD dianggap sesuai dengan putusan yang dikeluarkan MK.
“Menyatakan terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi,” ujar ketua majelis yang juga Ketua Bawaslu Abhan dalam persidangan di kantor Bawaslu, (5/10).
Pihak OSO berpendapat bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Namun di dalam pertimbangannya, Bawaslu mengatakan sesuai dengan putusan MK, aturan yang dikeluarkan KPU berlaku surut.
“PKPU Nomor 26 Tahun 2018 sebagaimana dimaksud merupakan tindak lanjut dari putusan MK, yang mana berdasarkan pendapat majelis putusan MK bersifat final. Tidak dapat dilakukan upaya hukum lain, yang mana pemberlakuannya sejak dibacakan putusan dimaksud dan berlaku ke depan,” kata anggota majelis, Fritz Edward Siregar.
Tidak berhenti sampai disana, OSO lalu mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Selain itu, OSO menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait pencalonannya sebagai anggota DPD.
MA dan PTUN memenangkan gugatan OSO, MA memutuskan Pemilu 2019 bisa diikuti calon anggota DPD yang juga pengurus parpol. Sedangkan putusan PTUN Jakarta memerintahkan KPU memasukkan nama OSO sebagai calon DPD pada Pemilu 2019, dan membatalkan surat keputusan DCT KPU sebelumnya.
Menindaklanjuti dua putusan tersebut, KPU memberikan kembali kesempatan OSO untuk dapat masuk dalam DCT. Namun, KPU tetap memberikan syarat surat pengunduran diri dari kepengurusan partai, yang mana menurut KPU syarat ini sesuai dengan putusan MK.
“KPU jalankan, masukkan (OSO) tapi ada syaratnya sebagaimana diputuskan dalam MK,” ujar Ketua KPU, Arief Budiman (4/12).
OSO diberikan waktu oleh KPU hingga 21 Desember untuk menyerahkan surat tersebut. Batas waktu penyerahan ini sebelum KPU melakukan validasi surat suara pada tanggal 24 Desember 2018.
“Maka kami minta kepada Pak OSO sebagai Ketua Umum Hanura, untuk melengkapi juga (surat pengunduran diri) sampai dengan batas waktu tanggal 21 Desember,” ujar komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik, (12/12).
Namun, hingga batas waktu yang ditentukan OSO belum juga menyerahkan surat pengunduran dirinya dari Ketua Umum Partai Hanura. KPU sendiri sampai saat ini belum mengkonfirmasi bagaimana status OSO dalam pencalonannya.***
Editor: denkur
Artikel ini pernah ditayangkan detikcom