DARA | BOGOR – Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI Fatahillah menyatakan, informasi positif tidak hanya keberhasilan pemberdayaan perempuan dan anak, tetapi juga informasi adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sesuai fakta dan data dengan kaidah yang baik.
“Pemberitaan media massa kami harap sesuai kaidah pedoman pemberitaan ramah anak (PPRA) dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak (SPPA) sehingga output positif dari media tersebut ikut mencerdaskan masyarakat,” kata Fatahillah saat berbicara pada pelatihan tentang isu-isu gender dan anak kepada wartawan, Kamis (20/6/2019) di Bogor.
Menurut dia, kaidah PPRA dan UU SPPA bertujuan melindungi perempuan dan anak dari korban kekerasan sehingga tidak lagi menjadi korban berikutnya karena identitas dibuka oleh media.
“Identitas seperti nama, alamat, dan wajah, perempuan maupun anak yang menjadi korban kekerasan harus dilindungi dengan tidak membukanya di media massa. Hal itu bisa menambah luka mereka. Kami harap media massa menyensor beritanya secara baik dan menghormati hak para korban kekerasan,” katanya.
Fatahillah menyesalkan media massa ataupun wartawan yang kurang hati-hati membuat berita peristiwa kekerasan anak dari sosial media. Hal tersebut menurut dia, malah akan menimbulkan berita palsu atau hoaks.
Pada sesi lain dalam pelatihan tersebut, Ketua Komisi Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Kamsul Hasan menuturkan, media massa yang mengekploitasi perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku, bisa diadukan ke Dewan Pers RI.
“Wartawan tersebut bisa terancam penjara berdasarkan pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012, sementara media massa dilindungi UU 40 tahun 1999 tentang peraturan dewan pers, oleh karena itu wartawan dalam menjalankan tugas wajib hukumnya mematuhi PPRA,”kata Kamsul.
UU SPPA lanjut dia, tidak hanya mengancam wartawan tapi juga aparat kepolisian yang membuka identitas perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku. “Wartawan, polisi, jaksa, bahkan hakim, yang melanggar pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012 bisa terancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta,” ujarnya.
Kamsul menuturkan, UU SPPA lebih tinggi kedudukanya dibandingkan UU Dewan Pers karena menyangkut semua lembaga. Bahkan aparat kepolisian, jaksa, dan hakim, juga bisa terjerat pasal 96 UU SPPA apabila tidak melaksanakan kewajiban upaya diversi kepada anak pelaku sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 1.**
editor: aldinar