Industri TPT Nasional kalah bersaing dengan produk TPT import. Puluhan pelaku industripun terancam guling tikar. Pemerintah tidak tinggal diam, ini langkah perlindungan terhadap industri TPT, nasional.
DARA | JAKARTA – Pelaku industri tekstil produk tekstil (TPT) harap harap cemas menanti aturan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) bagi impor produk tekstil.
Mereka khawatir, jika BMTP tidak segera diterbitkan, pelaku industri TPT makin banyak yang gulung tikar. Ketua Asosasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat beberapa waktu lalu menyatakan sedikitnya sembilan anggota mereka telah gulung tikar terlindas oleh produk impor.
Sejumlah pelaku industri TPT di Jabar berharap BMTP segera diterbitkan. Sebab mereka meyakini, BMTP bisa menjadi salah satu solusi bagi TPT nasional untuk tetap bertahan.
Diperoleh keterangan BMTP untuk industri TPT telah berada di Kementerian Keuangan. Pemberlakuan aturan yang digadang bakal menekan impor TPT itu menunggu keputusan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
“Prosesnya dari Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) sudah selesai, di Kementerian Perdagangan sudah selesai, sekarang Kementerian Keuangan, tinggal ditetapkan,” ujar Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kasan Muhri, Rabu (30/10/2019) seperti dilansir CNNIndonesia.com.
Ketua API Ade Sudrajat mengaku industri TPT nasional kini dalam kondisi mengkhawatirkan. Mereka lanjut Ade, kalah bersaing dengan produk impor karena biaya produksi di dalam negeri yang lebih tinggi.
Membanjirnya produk TPT impor akibat perang dagang antara AS dengan China. Produk TPT China masuk ke Indonesia dengan harga yang lebih kompetitip.
Karena itu Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kasan Muhri, menyatakan berupaya mengerahkan segala instrumen perdagangan baik safeguard maupun bea masuk anti dumping guna melindungi industri TPT nasional.
Kasan menyebtukan pemerintah telah menentukan besaran bea yang bakal dibebankan kepada produk impor TPT, dari hulu hingga hilir.
Menurut Kasan aturan BMTP atau safeguard bakal diterapkan sementara selama 200 hari. Dalam kurun waktu tersebut, tim KPPI akan melakukan investigasi ‘penyakit’ pada industri TPT. Targetnya, regulasi itu terbit akhir tahun ini.
“Sebelum berakhir 200 hari, harus ada kepastian akan lanjut atau berhenti. Misalnya lanjut, berarti diteruskan bisa 3 tahun hingga maksimum 5 tahun,” ujarnya.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga akan menerbitkan harmonisasi bea masuk impor TPT. Idealnya, bentuk bea masuk adalah piramida terbalik, artinya makin ke hilir tarifnya makin besar. Akan tetapi, saat ini berlaku ketentuan sebaliknya. Kondisi ini mengakibatkan produksi TPT dalam negeri loyo, sebaliknya banyak produk hilir impor seperti garmen yang membanjiri pasar.
Lihat juga: Pengamat Sesalkan Kenaikan Drastis Iuran BPJS Kesehatan
“Iya, piramida terbalik hulu rendah sampai ke hilir tinggi, supaya harmonis,” tuturnya.
Sebagai gambaran, Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu menetapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor produk serat dan benang filamen yang merupakan produk hulu.
Hal tersebut tertuang dalam PMK No. 114/PMK.010/2019 tanggal 5 Agustus 2019. Aturan ini mengatur BMAD atas impor produk serat staple sintetik Polyester Staple Fiber (PSF) dari India, China, dan Taiwan dengan besaran tarif 5,8 persen – 28,5 persen yang berlaku selama 3 tahun. Pengenaan BMAD ini telah diberlakukan sejak 2010.
Selain itu, juga ada PMK No. 115/PMK.010/2019 tanggal 6 Agustus 2019 terkait BMAD atas impor produk benang filamen sintetik Spin Drawn Yarn (SDY) dari China dengan besaran tarif 5,4 persen – 15 persen yang berlaku selama 3 tahun.
Wartawan : Bima Satriyadi |editor : aldinar
Bahan: CNNIndonesia.com