DARA| JAKARTA – Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas produksi minyak mentah sebanyak 1,2juta barel per hari (bph). Kesepakatan diputuskan dalam pertemuan di Wina, Austria, 6-7 Desember 2018.
Dilansir dari Reuters, mulai Januari 2019 kartel produsen minyak ini sepakat untuk mengurangi produksi sebanyak 800 ribu barel per hari (bph) dari level produksi Oktober mulai Januari 2019, sementara negara produsen non-OPEC siap memangkas produksi sebanyak 400 ribu bph tambahan.
Nilai ini akan dievaluasi kembali pada pertemuan di April 2019 mendatang. OPEC sendiri menggelar pertemuan setiap enam bulan sekali.
Untuk mencapai angka pemangkasan ini, Rusia memberikan komitmen untuk mengurangi produksi sebesar 228 ribu bph dari level produksi Oktober yang mencapai 11,4 juta bph. Rusia menyatakan pemangkasan tersebut akan dilakukan secara bertahap dan akan berlangsung beberapa bulan.
Selanjutnya, Irak yang merupakan produsen minyak terbesar kedua OPEC telah sepakat untuk memangkas produksinya sebesar 140 ribu bph.
Nigeria juga sepakat untuk memangkas produksinya. Nigeria sebelumnya tidak berpartisipasi pada kesepakatan pemangkasan produksi yang berlangsung sejak Januari 2017.
Tekanan dari Donald Trump
Keputusan pemangkasan produksi tersebut diambil di tengah tekanan Presiden AS Donald Trump yang tidak menginginkan pengurangan produksi minyak global.
Pemimpin de facto OPEC telah menerima permintaan Trump untuk membantu perekonomian global dengan tidak mengurangi pasokan.
Pengurangan produksi minyak juga menguntungkan Iran. Pasalnya, pengurangan produksi bakal mendongkrak harga minyak di tengah upaya Washington untuk menekan perekonomian produsen terbesar ketiga OPEC itu. Sebagai catatan, AS telah menjatuhkan sanksi ke sektor perminyakan Iran sejak November lalu.
Saat ditanya apakah keputusan tersebut bakal mempengaruhi hubungan Arab Saudidan AS, Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih mengatakan kepada awak media bahwa Arab Saudi siap menambah produksi jika terjadi defisit pasokan global besar-besaran.
Disebutkan Falih, produksi minyak Arab Saudi telah merosot menjadi 10,7 juta bph pada Desember dari produksi November yang mencapai 11,1 juta bph. Diperkirakan, produksi minyak Arab Saudi akan kembali menurun pada Januari menjadi 10,2 juta bph.
“Kami tidak akan menekan konsumen melampaui kemampuan (beli) mereka,”ujarnya.
Falih juga menambahkan bahwa AS baru-baru ini telah menjadi produsen minyak terbesar di dunia.
Keputusan Arab Saudi diambil setelah terjadi krisis yang dipicu oleh pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Arab Saudi di Istanbul Turki pada Oktober lalu.
Trump telah melindungi Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman meski banyak politisi AS yang meminta Trump menjatuhkan sanksi pada kerajaan Arab Saudi.
Falih enggan merespons pertanyaan terkait kemungkinan AS menarik dukungannya usai keputusan OPEC tersebut. Namun, Falih menyatakan hubungan AS-Arab Saudi didasari oleh nilai-nilai yang sama.
Harga MinyakMentah Melonjak
Usai pengumuman tersebut, harga minyak mentah sempat melonjak sekitar 5 persen menjadi lebih dari US$63 per barel. Pasalnya, total pemangkasan produksi yangmencapai 1,2 juta bph melampaui ekspektasi minimal pasar yang hanya satu juta bph.
Pada perdagangan Jumat (7/12), waktu Amerika Serikat (AS), harga Brent sempat menyentuh level US$63,73 per barel namun ditutup di level US$61,7 per barel atau hanya naik 2,9 persen dari sesi perdagangan sebelumnya.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah AS West Texas Intermediate(WTI) sebesar US$1,1 menjadi US$52,59 per barel, setelah terdongkrak ke level US$54,22 per barel.
Secara mingguan, kesepakatan OPEC tersebut telah membuat harga Brent dan WTI masing-masing terdongkrak 5,4 persen dan 3,7 persen.
Direktur Pelaksana RBC Capital Markets Helima Croft menilai kesepakatan tersebut melampaui ekspektasinya.
“Gelaran pertemuan April 2019 mendatang akan penting untuk kepentingan perencanaan dan sedikit mempercepat siklus,” ujarnya.
Namun, Presiden Rapidan Energy Group Bob McNally menilai detil pemangkasan produksi tersebut masih belum jelas dan kemungkinan realisasi pengurangan produksinya lebih kecil dari rencana.
“Presiden Trump tidak akan senang melihat topik utama hari ini, tapi seberapa besar reaksinya itu tergantung dari apakah harga minyak naik tajam akibat keputusan tersebut dalam beberapa hari atau pekan ke depan,”ujarnya.***
Editor: denkur
Berita ini pernah tayang di CNNIndonesia