KDM memainkan peran sebagai “influencer budaya”. Ia bukan sekadar birokrat, tapi aktor simbolik yang mengemas politik dalam bentuk pertunjukan.
Oleh: Asep Wahyu FS (Pemerhati Sosial Politik dan Pemerintahan Lokal, tinggal di Bumi Ganas Sari).
DARA| Dalam lanskap politik lokal Jawa Barat, nama Kang Dedi Mulyadi (KDM) mencuat bukan hanya karena posisinya sebagai mantan Bupati Purwakarta atau mantan anggota DPR RI, bahkan Gubernur Jawa Barat, melainkan karena gaya kepemimpinannya yang khas—merakyat, simbolik, dan sarat dengan nilai budaya Sunda.
Namun yang menarik, bukan hanya sepak terjangnya yang menjadi sorotan, melainkan juga fenomena peniruan gaya KDM oleh beberapa kepala daerah lain di Jawa Barat.
Fenomena imitasi ini terlihat dari cara beberapa bupati dan wali kota meniru penampilan KDM yang nyunda, aktivitas blusukan yang ditayangkan di media sosial, hingga kebijakan-kebijakan yang terbungkus dalam simbolisme budaya lokal.
Tidak jarang, kepala daerah lain mencoba meniru gaya berbicara KDM, mengenakan iket Sunda, hingga menampilkan diri sebagai “panglima rakyat kecil”.
Mengapa gaya KDM begitu ditiru? Jawabannya ada pada dua hal: elektabilitas dan resonansi budaya. Di tengah meningkatnya apatisme masyarakat terhadap elite politik yang dianggap elitis dan jauh dari rakyat, KDM hadir sebagai antitesis. Ia tidak hanya datang ke pasar dan kampung, tetapi menjadikan kunjungan itu sebagai panggung narasi dan konten politik yang efektif.
Dalam dunia di mana persepsi lebih menentukan ketimbang kebijakan, gaya menjadi substansi.
Lebih dari itu, KDM memainkan peran sebagai “influencer budaya”. Ia bukan sekadar birokrat, tapi aktor simbolik yang mengemas politik dalam bentuk pertunjukan.
Ia membumikan nilai-nilai Sunda seperti ngamumule budaya, gotong royong, dan hormat ka kolot dalam retorika dan gestur publiknya. Politik pun menjadi lebih mudah dicerna, lebih menyentuh sisi emosional masyarakat.
Gaya inilah yang coba direplikasi oleh para kepala daerah lain. Mereka melihat KDM bukan hanya sebagai sosok, tetapi sebagai formula. Namun di sinilah persoalan muncul: apakah peniruan ini bersifat substantif atau sekadar kosmetik?
Beberapa kepala daerah tampak meniru secara permukaan: memproduksi konten sosial media, memakai atribut budaya lokal, dan melakukan blusukan simbolik. Namun tanpa pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan KDM, imitasi tersebut menjadi hampa.
Ketika budaya hanya dijadikan alat pencitraan, bukan sebagai pijakan etik dan strategi pembangunan, maka yang terjadi bukan perbaikan demokrasi lokal, melainkan kosmetika populisme.
Imitasi gaya KDM seharusnya mendorong kepala daerah untuk lebih reflektif terhadap praktik kepemimpinan yang kontekstual, bukan semata menyalin bentuk luar.
Ada nilai-nilai penting dari KDM yang bisa diadopsi—kesadaran akan identitas lokal, pendekatan humanis terhadap rakyat kecil, dan upaya menghidupkan kearifan lokal dalam pembangunan. Tapi semua itu hanya akan berdampak jika diterjemahkan ke dalam kebijakan nyata, bukan sekadar konten media sosial.
Dalam era politik yang makin mediatik dan performatif, kita memang tidak bisa menghindari hadirnya pemimpin yang memanfaatkan simbol. Namun, masyarakat juga perlu lebih kritis: membedakan antara pemimpin yang tampil karena substansi, dengan yang hanya meniru demi sensasi.
Menjadi seperti KDM bukan soal pakaian, konten TikTok, atau blusukan ke pasar. Menjadi KDM berarti memahami rakyat, menghormati budaya, dan bekerja dalam senyap namun berdampak. Imitasi boleh saja, tapi substansi tetap utama.
(Pemerhati Sosial Politik dan Pemerintahan Lokal, tinggal di Bumi Ganas Sari).
Editor: Maji