Dunia kesenian dan kebudayaan Jawa Barat, bahkan nasional kehilangan Sang Maestro Jaipongan Gugum Gumbira Tirasonjaya. Gugum Gumbira tutup usia pada usia 74 tahun, karena sakit. Almarhum meninggal setelah sebelumnya dirawat di RS Santosa Kopo Bandung. Ibarat pepatah, harimau mati meninggalkan belangnya. Sang maestro tutup usia meninggalkan karya. Karya tari jaipongan maupun karya seni lainya hasil cipta reka karsa dan karya almarhum akan tetap hadir di tengah masyarakat. Selamat jalan Maestro.
DARA | BANDUNG – Maestro jaipongan Indonesia, Gugum Gumbira, tutup usia. Sebelunya Gugum sempat dirawat di RS Santosa Kopo, dan tutup usia sekira pukul 01.55 Sabtu (4/1/2019) di usia 74 tahun.
Jenazah almarhum kini disemayamkan di rumah duka Jalan Kopo No.17-19 Bojong Loa, Kota Bandung. Rencananya, sang maestro akan dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Pada Ulun, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung.
Reka karya seni tari tradisional Jaipong di tangan Gugum menjadi populer sehingga almarhum meraih Peraih Satya Lencana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia.
Keterangan yang diperoleh menyebutkan pada Selasa (31/12/2019) almarhum terjatuh dan tak sadarkan diri, kemudian oleh keluarga dilarikan ke RS Santosa Kopo. Namun di RS Santosa penuh, kemudian dibawa ke RSHS.
Salah satu keluarga, Inten mengatakan keesokan harinya, 1 Januari 2020, Gugum dibawa pulang ke rumah. Namun keluarga memutuskan untuk dibawa kembali ke RS Santosa Kopo. “Dirawat di Santosa Kopo selama dua hari,” kata Inten.
Tanggal 3 Januari 2020, berada di ruang rawat inap RS Santosa Kopo dalam kondisi tidak sadarkan diri. “Menjelang malam kondisinya semakin meningkat, sampai akhirnya menghembuskan napas terakhir, Sabtu, 4 Januari 2020 sekitar Pukul 01.59 WIB,” kata Inten.

Karir
Dalam berbagai refrensi memaparkan pada 1961 saat Presiden Indonesia, Sukarno melarang musik yang bernuansa kebarat baratan seperti rock and roll, maka alamrhum tertantang untuk menghidupkan seni tradisional. Lantas almarhum berinisiatif untuk belajar tari pedesaan dan festival musik selama dua belas tahun.
Hasil pembelajaran almarhum melahirkan sebuah seni tari yang kemudian sangat populer di tanah air yakni Jaipongan, atau Jaipong. Ini diungkapkan Gugum adalah sebagai hasil pembelajaranya dari musik ritual desa bernama ketuk tilu dengan gerakan dari Pencak Silat, seni bela diri Indonesia, dan musik dari tarian teater bertopeng, Topeng Banjet, dan teater Wayang Golek.
Dalam ketuk tilu asli, kelompok biasanya terdiri dari pot-gong ketuk tilu, gong kecil lainnya, rebab, drum barel, dan seorang perempuan penyanyi-penari (ronggeng) yang sering juga melacur, mengajak laki-laki untuk menari dengannya secara sensual. Gugum memperluas bagian drum sebagai bagian dari gamelan perkotaan, mempercepat musik, mendefinisikan ulang penyanyi hanya sebagai penyanyi (sinden), dan datang dengan nama onomatope yang menarik. Banyak pendengar menganggap bahwa musik ini sangat kompleks dengan irama yang dinamis.
Jaipongan memulai debutnya pada 1974 ketika Gugum beserta gamelan dan penari pertamanya tampil di depan umum. Pemerintah seblumnya berupaya untuk menekan jaipongan ini, karena dianggap sensual. Namun di balik larangan itu malah jaipong makin populer. Lantas Sang Maestro Gugum Gumbirapun memodifikasi gerak jaipong agar tidak terlihat sensual.
Karenaya jaipongan bisa dinyatakan resmi sebagai tarian khas Jabar yang sangat populer baik di dalam negeri mapun ke mancanagara. Jaipong dan Gugum Gumbira makin melejit di tahun 1980-an. Jaipongan menjadi sajian seni tari panggung yang paling populer diantara jenis taria lainya baik untuk penampilan solo oleh perempuan, pasangan campuran, dan tarian masal.
Album Jaipongan yang paling banyak tersedia di luar Indonesia adalah Tonggeret oleh Idjah Hadidjah dan Gugum Gumbira Jugala orkestra, yang dirilis pada tahun 1987 dan kembali dirilis sebagai ” Jaipong Sunda.
Bahan: berbagai sumber|wikipedia.org| editor: aldinar