DARA | BANDUNG – Peningkatan dana pendidikan di tahun 2019 yang mencapai Rp487,9 triliun dikhawatirkan sejumlah kalangan, membuka peluang baru bagi praktik korupsi. Pengucuran dana pendidikan itu langsung ke sekolah sekolah.
Penggiat dan aktivis pemerhati pendidikan Jabar Edi Gaswanto menilai, kucuran dana pendidikan yang berjalan saat ini memunculkan berbagai kasus pidana. Di Kabupaten Cianjur misalnya kata Edi, korupsi dana pendidikan itu melibatkan bupati, kepala dinas dan kepala sekolah.
Disebutkan Edi, indikasi terjadinya penyimpangan dana pendidikan sangat kuat. Di Kabupaten Bandung menurut dia, indikasinya bisa dilihat saat ada kegiatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pasti akan ada yang mensponsori dari salah satu penerbit.
Edi memaparkan, dalam APBN tahun 2019 dana pendidikan mencapai Rp487,9 triliun. Jumlah ini naik 9,86 persen dibandingkan anggaran tahun 2018 mencapai Rp444,1 triliun atau meningkat 38,1 persen dibandingkan realisasi anggaran pendidikan tahun 2014.
Dana Buku
Edi berharap pemerintah mengetatkan kontrol terhadap dana BOSS khususnya pengadaan buku. Sebab dari hasil observasi yang dia lakukan, Edi bersama tim para penggiat pendidikan di Jabar menemukan hal yang akan mengnggau pada kelancaran pelaksanaan program pengadaan buku tersebut.
Hasil temuan dari observasi yang dilakukan Edi, yaitu harga buku Kurikulum 13 (K-13) sebagai buku pelajaran Teks Utama milik pemerintah yang dijual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) menggunakan Dana BOS thn 2019. Ini menurut dia, sangat bagus untuk pemerataan sistem pendidikan sesuai dgn UU Perbukuan di Indonesia. Namun untuk mencegah penyimpangan diperlukan pengawasan lebih terstruktur dan terukur dari pemerintah.
Sebab menurut dia, banyak penerbit buku Teks Pendamping dan buku Perpustakaan dari Penerbit Swasta menjual harga buku 3-4 kali lebih mahal dari HET Buku Teks Wajib yang dijual oleh penerbit swasta ke sekolah. Lantas, buku yg dijual ke sekolah oleh penerbit swasta tidak berdasarkan e-catalog dan non HET.
Ada yang ber SK kelulusan dari Kemendikbud, tetapi lanjut Edi, ada juga yang tidak ber-SK dan semua dijual dengan diskon besar ke sekolah Negeri dan Swasta.
Karena itu tandas Edi, buku yang tak berSK banyak dipilih oleh pihak sekolah. Alasan sekolah yang diperoleh Edi yakni, jika membeli buku Teks Wajib, diskonya kecil karena HET rendah.
Dia menyarakan, Kemendikbud sebagai pemegang regulasi dibidang pendidikan, hendaknya memberikan standar harga buku (HET) sesuai dgn e-catalog dari para penerbit swasta yang dijual ke satuan pendidikan, baik negeri ataupun swasta agar tdk terjadi Mark-up harga buku yg bisa menimbulkan Korupsi di sekolah.
“ Jika ini terjadi, sangat merugikan orang tua siswa bahkan negara. Karena membeli buku yg lebih mahal dan non standar. Akibatnya akan menurunkan citra pemerintah, Kemdikbud khususnya selaku pemegang regulasi bidang pendidikan di Indonesia,” papar Edi Gasawanto.
Edi juga menyebutkan pembelian barang lainnya yang ditetapkan melalui dana BOS, terindikasi sangat mahal walau sudah diberikan harga maksimum, karena harga minimumnya hanya setengah dari harga maksimumnya. Issunya jenis barang ada yang ditetapkan merk nya dgn speck yg terlalu, serta kurang sesuai dangan kebutuhan.
Maka menurut dia, untuk memberikan jaminan kualitas dan harga, sebaiknya diberlakukan juga penetapannya melalui e-catalog sektoral agar terjaga standarnya. Adanya pola pembelian secara langsung (tunai) dengan mekanisme, sekolah memesan, nenerima dan membayar langsung secara offline kepada suplayer. “ Kami khawatir ini membuat resiko korupsi pindah di sekolah,” katanya.
Karena ini dalam catatan Edi, sudah banyak sekolah diadukan atau dilaporkan – karena bisnis langsung tersebut sehingga, membuat produck, harga dan speck tidak sesuai dengan standar dan ketentuan yang ada. “Ini berjalan sebab prinsip sekolah hanya melihat besaran discount atau rabat dalam pengadaan buku,” kata Edi.
Edi juga menyoroti proses pembelian dan pembayaran menggunakan sistem Online (OS) menggunakan dana BOS secara cashless (non tunai), dan harus melalui payment gateway, yang akan dilaksanakan mulai 2019. Mungkin cara ini akan lebih baik sebab menurut dia, konsep pembelian secara langsung melalui offline yang dipilih sekolah sejak 2018 memunculkan banyak masalah dengan adanya pengaduan dari masyarakat dan pengusaha yang dirugikan karena prilaku korupsi ditingkat sekolah.
Di sisi lain Edi melihat, banyak sekolah swasta, yang tidak menerima BOS dan tidak menggunakan buku Teks Utama yg diterbitkan oleh pemerintah, walaupun harga bukunya murah (HET). Alasan yang diperoleh Edi, karena kualitas dan isi buku Kurikulum 2013 terbitan Kemdikbud, bukunya kurang baik. Sekolah swasta lebih mau menggunakan buku swasta (buku penunjang) karena tidak pakai HET dan harganya mahal sehingga dengan discount atau rabatnya besar.
Jadi disebutkan Edi, bagi mereka akan lebih berarti dan mereka tak akan melihat apakah buku tersebut punya SK dan lulus penilaian atau tidak. Pertanyaanya apakah cara ini atau tidak menggunakan buku Teks Utama yang wajib, apakah tidak melanggar UU Perbukuan?Bukankah buku bagi pendidikan harus 3 M (Murah, Mutu dan Merata) digunakan ditingkat satuan pendidikan diseluruh Indonesia.***