Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Tisna Umaran meminta mekanisme distribusi harus diperhatikan semua pihak jika impor daging ayam terjadi.
DARA – Sebagaimana diketahui, Indonesia membuka peluang untuk mengimpor daging ayam dalam beberapa waktu ke depan, salah satunya dari Brazil.
Penyebabnya bukan karena kekurangan stok di dalam negeri, melainkan ada kewajiban dari Indonesia untuk memenuhi tuntutan setelah kalah gugatan dari Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Jadi terkait mekanisme distribusi, barangkali yang jadi PR. Jangan sampai harga sedang jatuh ditingkat petani, itu (ayam impor) dikeluarkan,” ujar Tisna saat wawancara di Soreang, Selasa (4/5/2021).
Menurut Tisna, harga daging ayam itu tergolong memiliki fluktuasi yang sangat tajam. Jadi terkadang mahal, kadang juga harga ditingkat petaninya bisa jatuh.
Kata Tisna, jika kegiatan impor itu dilakukan dalam rangka ketersediaan untuk back up apabila harga tinggi, maka itu merupakan langkah yang bagus. Agar konsumen bisa memenuhi kebutuhan daging ayamnya dalam kisaran harga yang wajar.
“Saya dengar itu hanya khusus bagian paha dan sayap ayam, dimana di tempat lain itu sebetulnya tidak dikonsumsi tapi di kita justru jadi bagian yang favorit untuk dikonsumsi,” jelasnya.
Berdasarkan perhitungan, ungkap Tisna, produksi daging ayam dengan konsumsinya itu cukup. Jadi, untuk ayam potong produksinya cukup tinggi sehingga untuk pemenuhan kebutuhan sendiri itu cukup.
“Ini memang PR untuk pemerintah, bagaimana supaya dalam distribusinya itu jangan sampai mengganggu petani,” ungkap Tisna.
Sementara itu, terkait harga kebutuhan pokok menjelang hari raya idul fitri, kata Tisna, relatif normal. Jadi petani tidak rugi dan konsumen tidak keberatan dengan harga. Misalnya harga cabai yang sudah diangka Rp20 ribu. Kemudian juga terkait beras dan sayuran yang stoknya relatif stabil.
Namun, untuk daging sapi, Tisna menuturkan akan ada kenaikan harga. Hal tersebut dikarenakan supply daging sapi segar yang berasal dari Australia mengalami kekurangan dan juga disebabkan mahalnya biaya pengiriman, sehingga mengimbau masyarakat untuk membeli atau mengkonsumsi daging sapi beku.
“Harga ditingkat konsumen, daging segar akan di sekitar Rp130 ribu, kalau daging beku itu dari mulai Rp75 ribu sampai Rp90 ribu. Jadi saya pikir selisih hingga Rp20 ribu sampai Rp30 ribu, itu juga sangat berarti. Kalau lihat nutrisi dan sebagainya, sebenarnya tidak ada bedanya, antara daging segar dan daging beku,” tutur Tisna.
Soal operasi pasar, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Bandung.***
Editor: denkur