Oleh: Asep Suhardi (Ado)
DARA | Setelah dilantik sebagai Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchi Ismail sempat membawa secercah harapan di tengah kekosongan kepemimpinan pasca bupati sebelumnya tersandung kasus hukum.
Dengan gaya santun, agamis, dan membumi, Jeje seolah ingin menampilkan wajah baru pemerintahan. Namun, gaya bukanlah segalanya, dalam pemerintahan substansi jauh lebih penting dari simbol.
Jeje tampak meniru pola kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jabar yang dikenal teknokratis, egaliter, dan reformis.
Namun, Jeje hanya meniru permukaannya saja. Ia gagal menangkap esensi di balik gaya KDM—yakni kapasitas manajerial, pemahaman anggaran, dan kepemimpinan berbasis sistem.
Minimnya pemahaman Jeje terhadap siklus anggaran dan mekanisme perencanaan pembangunan menyebabkan berbagai program strategis mandek.
Proyek pelayanan dasar, infrastruktur, hingga penguatan birokrasi berjalan terseok-seok tanpa arah yang jelas.
Ia lebih sibuk membangun pencitraan sebagai pemimpin baik, alih-alih membenahi sistem dari akar.
Kepemimpinan Jeje pun terkesan soliter. Koordinasi dengan dinas teknis lemah, komunikasi dengan DPRD hambar, dan partisipasi masyarakat nyaris tidak diberi ruang. Pemerintahan berjalan seperti tanpa komando.
Ia lebih sering hadir di media sosial ketimbang hadir dalam pengambilan keputusan strategis di internal pemerintahan.
Lebih mengkhawatirkan, Jeje tampaknya keliru memahami platform kepemimpinan. Ia seperti percaya bahwa popularitas di media sosial setara dengan keberhasilan kepemimpinan. Padahal, mengelola pemerintahan daerah harus berbasis pada perencanaan, penganggaran, dan akuntabilitas, bukan berdasar algoritma media sosial. Pemerintahan bukan soal “engagement”, tetapi soal dampak nyata di lapangan.
Jika gaya kepemimpinan seperti ini terus dipertahankan, bukan tidak mungkin Kabupaten Bandung Barat akan dikelola secara auto pilot—berjalan seadanya karena ditopang oleh sistem birokrasi yang pasif, bukan karena dikendalikan oleh visi dan keputusan strategis kepala daerah. Dalam kondisi ini, risiko stagnasi makin besar, kepercayaan publik melemah, dan pembangunan kehilangan arah.
Lebih jauh, cita-cita mulia yang selama ini diperjuangkan oleh warga Bandung Barat—yakni pemekaran dari Kabupaten Bandung agar lebih mandiri dan maju—akan makin jauh dari kenyataan.
Cita-cita pemekaran bisa jadi hanya tinggal slogan kosong, karena arah pembangunan tak lagi menyasar kemajuan, melainkan hanya sekadar mempertahankan eksistensi.
Bandung Barat tak butuh pemimpin yang meniru gaya, melainkan pemimpin yang punya arah, paham sistem, dan siap bekerja untuk rakyat. Kepemimpinan bukan soal tampil baik di depan kamera, tetapi soal membuat keputusan sulit, mengelola anggaran dengan benar, dan mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.
Jeje masih punya waktu untuk berbenah. Tapi jika tetap bertahan dengan pola kepemimpinan pencitraan, sejarah mungkin hanya akan mencatatnya sebagai pemimpin transisional yang gagal membawa kapal besar bernama Bandung Barat menuju pelabuhan kemajuan. (Penulis: Pendiri KPKBB)
Editor: denkur