DARA | SOREANG – Sejumlah aktivis dan pemerhati pendidikan di Kabupaten Bandung menyoroti harga finger print yang didapat para kepala sekolah mahal. Pembelian finger print dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terjadi markup. Selisih harga yang signifikan itu diduga menjadi dana “bancakan” para oknum birokrasi pendidikan di Kabupaten Bandung.
Aktivis pemerhati pendidikan Jabar Edi Gaswanto menyebutkan hasil observasi di lapangan mendapati bahwa tidak semua sekolah khususnya Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Bandung bisa menggunakan finger print. Sebab ada sejumlah SD yang belum memiliki instalasi listrik. Meski demikian SD yang belum berlistrik itu tetap harus membeli finger print.
Finger print dimaksudkan untuk mendisplinkan para tenaga pendidik agar datang ke sekolah tepat waktu. Dengan begitu diharapkan bisa meningkatkan profesionalisme guru dari sisi kehadiran.
Di sejumlah SD yang belum berlistrik, pembelian alat itupun harus ada biaya tambahan untuk membeli kabel penyambung aliran listrik. Di SD Sugih Mukti Desa Sugih Mukti Kecamatan Pasirjambu misalnya. Hal serupa terjadi pula di sejumlah SD di Kecamatan Ciwidey, Rancabali, Pasirjambu, dan Pangalengan.
Di SD yang belum berlsitrik alat tersebut dibiarkan di ruang Kepala SD. Alat seharga Rp2.500.000 itu teronggok tak berfungsi. Dari hasil pendataan Edi Gaswanto, para Kepala SD yang berada di Kecamatan Cimaung, Pangalengan, Katapang, Nagreg, Margahayu, Arjasari, Majalaya membeli finger print tersebut seharga Rp 2.5 juta hingga Rp 2.8 juta. Sedangkan harga di pasaran finger print ini termahal dan kualitas baik mencapai Rp1.200.000, sehingga ada selisih harga lanjut Edi sekitar Rp1.300.000.
Edi berharap aparat penegak hukum termasuk Inspektorat di Kabupaten Bandung menyelidiki adanya markup harga terrsebut.
Dalam hitungan Edi, jumlah SD di Kabupaten Bandung sebanyak 1.629 tersebar di 31 kecamatan. Jika seluruh SD membeli finger print seharga Rp2.500.000, berarti dana pembelian sebasar Rp4,07 milyar. Namun jika harga finger print senilai Rp1.500.00 maka dana pembelian terebut hanya sebesar Rp2,44 milyar.”Ada selisih sekitar Rp2 milyar. Jelas dana sebesar ini bisa dimanfaatkan ke kebutuhan lainya. Ini saya duga ada “bacakan” di selisih dana tersebut,”kata Edi Gaswanto.
Bingung
Penjualan alat finger print membingkan sejumlah Kepala SD. Selain mahal merekapun tak bisa berbuat banyak. Sebab alat dan pengusaha yang menjual alat tersebut mendapat rekomondasi dari oknum birokrat pendidikan.
Diakui, Kepala SDN Sugihmukti Kecamatan Pasirjambu, Dudung. Dia menyatakan alat tersebut mahal, tetapi dia tidak bisa menolak atas harga yang harus dia bayar seniali Rp2.500.000.
Padahal di SD tersebut belum berlistrik. Di daerah Sugih Mukti terdapat sumber pembangkit listrik yaitu kincir dengan jarak 30 Km dari Kampung Kendeng ke SDN Sugihmukti. Maka untuk memasang alat ini harus menambah biaya dengan menyambung ke sumber listrik tersebut.
“Untuk memasang listrik itu kami harus mengadakan kabel.Saya sudah beli barang dari dinas dan beli kabel sepanjang 1000 meter untuk menyambung listrik,” katanya.
Untuk mencapai SD Sugih Mukti diperlukan waktu sekitar tiga jam perjalanan dari terminal Ciwidey.
Diperoleh keterangan di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung bahwa penggunaan fingerprint sudah sesuai dengan Juknis BOS Pusat dan Permendikbud No 33 dan sudah disosialisasikan.***