OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
“Sang penguasa haruslah membuat dirinya ditakuti. Bila’ penguasa tidak dicintai, maka dia tak boleh dibenci. Karena, rasa takut dan kebencian, dapat berjalan bersama-sama”. (Niccolo Machiavelly, dalam ‘Il Principe”).
Adalah bulan ini, 15 Agustus 1975, yang merubah keseluruhan kehidupan mantan PM Bangladesh Syekh Hasena Wajed. Kekerasan dan kebencian terhadap ayahnya Syekh Mujibur Rahman oleh militer. Membuat dirinya terpaksa terjun ke dunia politik. Melanjutkan eksistensi Partai Liga Awami yang didirikan ayahnya, setelah Deklarasi Kemerdekaan Bangladesh.
Kisah Ayah Hasena Wajed, juga pendiri Bangladesh, Mujibur Rahman berakhir lewat tembakan peluru. Mujibur Rahman yang disponsori India untuk merdeka Desember 1971, tewas bersama tiga putra, dan Isterinya. Sementara Syekh Hasena Wajed beserta adik perempuannya Syekh Rehanna selamat, karena sedang ada di Jerman.
Lazim terjadi semasa 1960 dan 70-an, hingga era 80-an, “Coup De tat” (kudeta), penggulingan satu Pemerintahan yang sah, dilakukan dengan menghabisi seluruh anggota keluarga.
Analogi pembunuhan politik seperti itu, terjadi lagi tahun 2001. Hal yang tak ‘lazim’ terjadi pasca-“Perang Dingin”. Skeptis khalayak mengemuka, saat Raja Nepal dari Wangsa Shah, Birendra (lewat pengumuman resmi pemerintah), dibunuh oleh putra Mahkota Pangeran Dipendra. Dengan alasan ‘sepele’, soal polemik pernikahan Pangeran. Tak masuk akal.
Raja Birendra yang merupakan Ayah kandung Dipendra tewas, bersama Ibu (Aishwarya Rajya Laxmi Devi Shah), adik (Putri Shruti dan Pangeran Nirajan), yang total berjumlah tujuh orang anggota keluarga istana Narayanhity. Dinasti Birendra habis, karena Pangeran Dipendra diumumkan juga tewas bunuh diri (suicide).
Peristiwa ini ditanggapi skeptis oleh “public opinion” secara inklusif. Dinasti (Wangsa Shah) yang dimulai pada abad ke-15, berakhir di tangan Raja Gyanendra (adik Birendra, dan Paman Pangeran Dipendra), setelah Gyanendra digulingkan oleh kelompok kiri Nepal. Kini, Nepal sudah berubah menjadi Republik.
Peristiwa habisnya Wangsa ‘Shah’ di Nepal 2001, hampir saja menghabisi ‘klan’ Mujibur Rahman. Andai 5 Agustus (2024 lalu), Syekh Hasena Wajed beserta dua anaknya tidak ‘buru’-‘buru’ meninggalkan Bangladesh bersama Helikopter, pergi ke India. Karena, saat itu rumahnya di Ibukota Dakha, diserbu oleh ribuan orang pendemo.
PM enam periode, Syekh Hasena Wajed (1996-2001 & 2009-2024) didemo Mahasiswa (secara implisit didukung militer), karena perkara sepele. Kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil (soal ‘gap’ kuota masuk pegawai negeri) . Pemerintah mengistimewakan anggota keluarga pejuang Kemerdekaan Bangladesh. Demo ini, kemudian berkembang menjadi tuntutan mundur Hasena Wajed.
Hal yang sama pernah terjadi pada Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Kabur ke AS (1989). Presiden Vietnam Selatan Nguyen Van Theu lari ke AS (1975), dan Presiden Kamboja Lon Nol melarikan diri juga ke AS karena pemberontakan (1975), dan Jean Claude Duvalier (Baby Doc) tahun 1986 digulingkan oleh pemberontakan rakyat Haiti.
Bangladesh, yang memiliki luas 148.456 kilometer persegi, dan berpenduduk 165 juta jiwa (sensus 2022), memiliki ‘histori’ kudeta berdarah, sejak kemerdekaannya dari Pakistan.
Bangladesh yang semula adalah wilayah Pakistan Timur (Bengali Timur), merdeka lewat “sponsorship” India (menguasai wilayah Bengali Barat). Sesama mayoritas Islam, namun kultur Pakistan Barat dan Pakistan Timur, berbeda jauh. Lebih dekat dengan kultur dan bahasa India, Bangladesh memisahkan diri.
Kultur kudeta berdarah, nampaknya menjadi “pakaian badan”. Itulah yang membuat Bangladesh sering diintervensi militer. Pertikaian antara politisi yang intensitasnya tinggi, membuat Bangladesh tidak stabil.
Belum berhenti pada ayah Syekh Hasena Wajed (Syekh Mujibur Rahman), Presiden Bangladesh Mayor Jenderal Ziau Rahman (setelah Presiden Khundaqar Mushtaq Ahmed), juga terbunuh oleh kudeta militer yang dipimpin oleh Mayjen Mohammad Abdul Manzoor.
Disebut-sebut ikut dalam peristiwa terbunuhnya pendiri Bangladesh Syekh Mujibur Rahman 1975, Ziau Rahman yang juga suami PM tiga periode Bangladesh (Begum Khaleda Zia). Sebenarnya adalah teman seperjuangan Mohammed Abdul Manzoor saat Kemerdekaan Bangladesh (1971).
Namun, itulah ‘kekuasaan’. Tak ada teman sejati.
Ziaur Rahman terbunuh, ‘ditikam’, setelah memegang jabatan Presiden selama empat tahun (1977-1981). Isterinya, Begum Khaleda Zia melanjutkan trakh politik dengan menjadi Perdana Menteri (PM) selama tiga kali (1991-1996, Pebruari 1996-Maret 1996, 2001-2006).
Dalam perjalanan “roadmap” kehebohan politik Bangladesh, sepertinya negara hanya ‘dimiliki’
oleh dua pemimpin, yang silih berganti: Syekh Hasina Wajed (anak mendiang Syekh Mujibur Rahman) dan Begum Khaleda Zia (isteri mendiang Presiden Ziaur Rahman).
Sejarah (historical), adalah studi perubahan. Yang ironisnya digunakan sebagai peta masa depan (future map).
Sejarah, termasuk sejarah perjalanan mantan PM Syekh Hasena Wajed. Juga sejarah Begum Khaleda Zia adalah pelajaran yang mengejutkan. Tak terduga, dari kenikmatan menjadi kecemasan dan kekhawatiran.
Sulit untuk menerapkan, atau melanggengkan teori Machiavelly dalam “Il Principe” tentang “penguasa”. Untuk menciptakan ketakutan, agar orang menjadi takut. Atau menciptakan “rasa Cinta”, agar orang dipaksa memilih “Cinta”.
Syekh Hasena Wajed, telah pergi. Meninggalkan kesenangannya. Meninggalkan kekuasaan yang sebenarnya, ‘pelangi’ dan nisbi (semu).