Bukit Cula sepuluh tahun lalu hanya sebuah perbukitan rindang yang banyak ditumbuhi ilalang dan kayu alba. Turun sedikit ke kaki bukit, terlihat hijaunya perkebunan jagong, surawung dan sinkong. Air mengalir sungai Cirasea yang berada di bawahnya adalah irama alam dusun desa.
Bukit Cula saat itu hanya ditapaki kaki-kaki petani nan lusuh. Namun, setiap Sabtu malam Minggu, terkadang anak-anak muda pergi berkemah di puncak bukit nan asri. Dari situ terlihat hamparan kota Majalaya yang dihiasi sesuhunan putih sejumlah pabrik. Lalu ke arah utara cekung Bandung terlihat elok rupawan. Dan waktu beranjak malam, hawa dingin pun menusuk sekujur tubuh. Bukit Cula –sekali lagi – dulu hanya sebuah bukit yang terkadang gersang tak terurus.
Tapi kini, bukit yang berada di Desa Gunungleutik Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung itu, laksana bak perawan mencari pinangan. Penataan dibentuk cukup bagus, mulai dari infrastruktur jalan hingga fasilitas yang ada di puncak bukit. Kini tak lagi sekadar tempat bertani tapi juga menjadi objek wisata alami.
Menyusuri Bukit Cula bias dari dua arah, dari Sekesalam Desa Pakutandang atau langsung dari Desa Gunungleutik. Disepanjang jalan ketika sudah dekat denggan Bukit Cula ada hamparan pedagang cemilan dan asesoris berderat menambah asri pemandangan.
Bukit Cula tepatnya secara geografis berada di wilayah Desa Gunungleutik Kecamataan Ciparay. Namun, bukit sebelah selatan masuk dalam wilayah Desa Pakutandang.
Sebuah artikel yang ditulis Bah Umar, menyebutkan di areal Situs Bukit Cula ini, terdapat beragam bentuk batu yang telah memiliki nama masing-masing. Entah dari mana asal-usul nama tersebut. Tapi, masyarakat sekitar tetap memercayainya bahwa kemungkinan di sini sempat berdiri sebuah kekuasan mirip sebuah kerajaan. Tapi, tak seorang pun tahu makna dari nama-nama tersebut.
Penamaan Bukit Cula sendiri, tentu sangat ganjil. Sebab, tak ada sesuatu tanda yang mengarah kepada hubungan dengan binatang bercula. Batu-batu yang terdapat di situ, lebih mirip kebanyakan batu-batu biasa. Akan tetapi, jika menengok kembali kepada masa silam sekitar abad ke-17, mungkin akan sedikit terungkap mengenai asal-muasal nama Bukit Cula.
Pada masa itu, sempat dikabarkan bahwa selama pengungsian ke wilayah selatan dengan cara menyamar sebagai rakyat biasa, Dipati Ukur sempat melucuti pakaian kebesaran kadaleman untuk kemudian diganti dengan pakaian rakyat kebanyakan. Dan salah satu asesoris pakaian kebesarannya itu terselip sebuah benda pusaka berupa duhung yang bernama culanagara.
Konon, duhung pusaka tersebut merupakan warisan terakhir dari Raja Pajajaran, Prabu Suryakancana Sang Nusia Mulya sebagai sebuah amanat untuk menjaga dan mempertahankan tanjeur Panjajaran pasca-Pajajaran burak. Amanat itu memang sempat dijalankan manakala Dipati Ukur berhasil menguasai wilayah tatar Sunda sebagai wedana bupati menggantikan Rangga Gempol.
Saat bergerilya itulah, Dipati Ukur lebih memusatkan perjuangannya di Wilayah Ciparay dan sekitarnya di daerah selatan hingga wilayah Pangalengan. Tidak heran apabila jejak-jejak Dipati Ukur tersebar di wilayah ini.
Jejak-jejak peninggalan Dipati Ukur di wilayah ini lebih banyak berupa folklor yang hidup di kalangan masyarakat. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Berdasarkan keterangan di atas, folklor peninggalan Jejak-jejak semasa perjuangan Dipati Ukur di wilayah kecamatan Ciparay ini, diantaranya terhimpun di kawasan Situs Bukit Cula, berupa bongkahan-bongkahan batu yang telah diberi nama, seperti Batu Ramogiling, Batu Palalangon, Batu Korsi, Batu Altar, Batu Korsi Oray Sinduk, Batu Tangkorak Monyet, Batu Bandera, dan Batu Undak Sindang Panon.
Selain terdapat penyebaran bongkahan batu dengan nama-nama unik, di kawasan Situs Bukit Cula ini, terdapat pula blok-blok lahan bernama Kadaleman, Leuit Salawe Jajar, Astana Gede, Cukang Irung, Sindang Reureuh, Pamoyanan, dan Pasarean Embah Sakti.
Nama-nama tersebut bila dikaitkan dengan konsep tata ruang pemerintahan tradisional, jelas memiliki keterkaitan makna. Seperti nama Leuit Salawe jajar, Kadaleman, Batu Korsi, Batu Palalangon, batu Bandera, adalah tidak lain merupakan konsep lima mandala dari tata ruang wilayah di dalam karaton, yaitu Sri Bima (Kadaleman) Punta (Pamoyanan) Narayana(Batu Palalangon), Madura (Sindang Reureuh) Suradipati (Leuit salawe Jajar).
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan Bukit Cula yang kini jadi objek wisata local? Tentu tak sekadar pembenahan infrastruktur dan fasilitas, tapi juga pola piker masyarakat di sekelilingnya. Masyarakat harus tahu bahwa objek wisata bukan sekadar bermanfaat bagi peningkatan perekonomian, tapi lebih dari itu juga menumbuhkan rasa kasih sayang kita terhadap alam lingkungan. Jangan sampai alih-alih untuk pengembangan wisata, kemudian keasrian alam dirusak, dibabad hingga ditumbuhi bangunan-bangunan bertembok beton. Biarkan Bukit Cula berada pada alamiahnya. Jngan pernah berpikir untuk mendirikan bangunan bertembok di sekitar itu. Kalaupun ada, bangunan seperti vila atau penginapan harus berbahan kayu, itu pun selayaknya dibatasi.
Tingkat kenyamanan pun harus tetap terjaga. Jangan sampai ada pungutan-pungutan liar seperti di objek wisata lain yang justru menimbulkan munculnya ketidaknyamanan pengunjung. Biarkan Bukit Cula jadi destinasi wisata yang ramah lingkungan, tak hanya dengan alam tapi juga ramah masyarakatnya. Satu hal lagi, biarkan Bukit Cula jadi objek wisata yang menjungjung tinggi karakter kasundaan. Segala sesuatu fasilitas di sana harus nyunda…’ya harus nyunda.***
Editor: Denkur