Haiku bukan imajinasi, bukan khayalan, apalagi impian. Haiku adalah fakta, apa yang dilihat dan dirasakan saat itu. Haiku juga bukan ramai-ramai atau heboh-hebohan. Haiku adalah keheningan, haiku adalah alam. Maka, bukanlah haiku kalau menuliskan larik mobil tabrakan, rumah kebakaran, Persib kalah dan sejenisnya.
Haiku adalah perenungan dari kita terhadap alam. Saat menulis haiku bagaimana kita dibawa dalam perasaan hening, suasana kebatinan, sunyi dan selebihnya mengAgungkan Kuasa Allah. Bagaimana kita melihat seekor katak bersembunyi di bawah daun ketika hujan gerimis di senja hari. Saat itu kita seolah menjadi tokoh katak yang hanya menatap tetes air hujan di hadapannya. Haiku adalah alam, kita bisa menjadi angin, bulan, kabut, sunyi, damai.
Banyak penulis haiku yang kebablasan. Ia menulis haiku ketika berada di undangan hajatan. Ia tulis seputar menu parasmanan atau longgak lenggok biduan elektrun. Maka, itu bukan haiku. Itu hanya puisi tiga larik yang tak punya makna apa-apa. Karena itu, seorang penulis haiku harus punya kedalaman hati terhadap alam di sekelilingnya, sekali lagi terhadap alam, bukan sekadar sekeliling dimana kita berada.
Lebih jelasnya, berikut sebuah artikel yang diambil dari webb jendela sastra agar kita lebih dalam mengenal apa itu haiku dan bagaimana cara penulisannya yang baik dan benar.
Haiku adalah salah satu bentuk puisi tradisional Jepang yang paling penting. Ia merupakan sajak terikat yang memiliki 17 suku kata terbagi dalam tiga baris dengan tiap baris terdiri dari 5, 7, dan 5 suku kata. Sejak awalnya, sering muncul kebingungan antara istilah Haiku, Hokku dan Haikai (Haikai no Renga). Hokku adalah sajak pembuka dari sebuah rangkaian sajak-sajak yang disebut Haikai no Renga. Hokku menentukan warna dan rasa dari keseluruhan rantai Haikai itu, sehingga menjadi penting, dan tak jarang seorang penyair hanya membuat hokku tanpa harus menulis rantai sajak lanjutannya.
Istilah Haiku baru muncul 1890 an, diperkenalkan oleh Masaoka Shiki. Haiku dapat kita artikan sebagai pembebasan Hokku dari rantai Haika. Haiku bisa berdiri sendiri, sudah utuh pada dirinya tanpa tergantung pada rantai sajak yang lebih panjang. Tokoh lain dalam reformasi Haiku ini adalah Kawahigashi Hekigoto yang mengajukan dua proposisi:
- Haiku akan lebih jujur terhadap realitas jika tidak ada “center of interest” (pusat kepentingan, fokus perhatian) di dalamnya
- Pentingnya impresi penyair pada hal-hal yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan warna-warna lokal (ini tidak jauh berbeda dari kaidah hokku)
Haiku muncul baru pada penggal terakhir abad ke-19.Sajak-sajak yang terkenal dari para empu jaman Edo (1600-1868) seperti Basho,Yosa Buson, dan Kobayashi Issa seharusnya dilihat sebagai hokku dan harus diletakkan dalam konteks sejarah haikai meski pada umumnya sajak-sajak mereka itu sekarang sering dibaca sebagai haiku yang berdiri sendiri. Ada juga yang menyebut Hokku sebagai “Haiku klasik”, dan Haiku sebagai “Haiku modern”.
Di luar Jepang, terutama di Barat (mungkin awalnya dari penerjemahan haiku Jepang) haiku mengalami degradasi dengan absennya beberapa prinsip dasar hokku (haiku klasik). Pola sajak 17 suku kata itu menjadi tidak ketat diikuti. Akhirnya haiku di barat hanya tampil sebatas bentuk pendeknya saja.
Haiku tidak memiliki rima/persajakan (rhyme). Haiku”melukis” imaji ke benak pembaca. Tantangan dalam menulis haiku adalah bagaimana mengirim telepati pesan/kesan/imaji ke dalam benak pembaca hanya dalam 17 silaba, dalam tiga baris saja!
Dalam bahasa Jepang, kaidah-kaidah penulisan haiku sudah pakem dan harus diikuti. Dalam bahasa lain, kadang sulit untuk mengikuti pola ini, dan biasanya menjadi lebih longgar.
Haiku bisa mendeskripsikan apa saja, tetapi biasanya berisi hal-hal yang tidak terlalu rumit untuk dipahami oleh pembaca awam. Bebarapa haiku yang kuat justru menggambarkan kehidupan keseharian yang dituliskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepada pembaca suatu pengalaman dan sudut pandang baru/lain dari situasi yang biasa tersebut. Haiku juga mengharuskan adanya “kigo” atau “kata (penunjuk) musim”, misalnya kata “salju” (musim dingin), “kuntum bunga” (musim semi), sebagai penanda waktu/musim saat haiku tersebut ditulis. Tentu saja kata-kata penanda musim ini tidak harus selalu jelas-terang.
Bagaimanapun juga, saat ini haiku di tiap-tiap tradisi bahasa mengikuti aturan-aturannya sendiri sesuai sifat alami bahasa di mana haiku tersebut dituliskan. Silakan menulis haiku dengan pertimbangan Anda sendiri, apakah akan mematuhi aturan-aturan baku dari haiku Jepang yang asli, ataukah lebih mementingkan esensi atau ruh dari haiku dengan membengkokkan beberapa syariatnya. Di sinilah tantangan kesulitan, sekaligus kenikmatan menulis haiku.***
Editor: denkur