“Sejak bukan jadi komiditi utama, sekarang hanya tersisa 15 persen saja dari jumlah ideal 6.500 pohon per hektare,” ungkap Manager Perkebunan Bukit Tunggul, Yanyan Cahyana.
BUDIDAYA Kina atau tanaman obat bernama latin Cichona di Perkebunan Bukit Tunggul, tengah berada di ujung tanduk. Keberadaan Kina yang hanya ditempatkan sebagai komoditi pendukung, berdampak pada melorotnya produksi tepung kulit Kina yang hanya 5 ton saja per bulan.
Berdiri di atas lahan 708 hektare milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, Kina Bukit Tunggul berada di wilayah administratif Desa Cipanjalu, Cilengkrang, Kabupaten Bandung dan sebagian kecil di Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.
Manager Perkebunan Bukit Tunggul, Yanyan Cahyana memaparkan, dari luas konsesi 708 hektare, luas lahan yang ditanami Kina hanya 683 hektare.
Idealnya, kata Yanyan, Bukit Tunggul menanam 4.439.500 pohon dengan asumsi 6.500 pohon per hektar dengan jarak tanam 1,5 meter. Namun, Sejak PTPN VIII menjadikan Kina sebagai komoditi penunjang, jumlah pohon Kina menurun drastis menjadi 683.000 pohon saja.
“Sejak bukan jadi komiditi utama, sekarang hanya tersisa 15 persen saja dari jumlah ideal 6.500 pohon per hektare,” ungkap Yanyan saat ditemui di Bukit Tunggul, belum lama ini.
Yanyan menerangkan, kebun dan pabrik pengolahan Bukit Tunggul menghasilkan produk akhir berupa Kulit Kina Kering Tepung (K3T).
Proses diawali dari panen Kulit Kina Basah (KKB), kemudian melalui serangkaian penjemuran dan pengeringan untuk mengurangi kadar air. Selanjutnya kulit Kina kering digiling dan dikemas dalam karung 50 kilogram.
“K3T ini dihargai Rp 40 ribu per kilogram oleh anak perusahaan PTPN VIII, baru kemudian diolah untuk diambil zat Kina sebagai bahan baku obat, kosmetik maupun minuman bersoda,” terangnya.
Dengan terbatasnya suntikan modal penanaman, pabrik Kina di Bukit Tunggul yang berdiri sejak 1927 itu terancam gulung tikar. Saat ini pabrik hanya beroperasi sebulan sekali dengan menghasilkan 5 ton K3T.
“Kami hanya mampu produksi sebulan sekali, kalau dulu semua kebun Kina di PTPN VIII pengolahannya di sini, sekarang kebun Kina hanya tinggal Bukit Tunggul. Itu pun pohon yang tersisa dari penanaman tahun 2011, sekarang belum ada kebijakan akan melakukan penanaman kembali,” katanya.
Menurunnya produksi yang kian memprihatinkan ini terus menggerus jumlah karyawan dan pegawai lepas Bukit Tunggul. Jika dulu jumlah pekerja mencapai 400 orang dan pabrik beroperasi setiap hari, kini jumlah pegawai hanya 40 orang.
“40 orang itu menurut saya kebanyakan, karena pengeluaran lebih banyak. Saat ini juga yang efektif ke lapangan hanya 6 orang, selebihnya banyak di security karena orientasinya lebih kepada pengamanan aset,” ujarnya.
Dengan adanya wacana Kina sebagai obat untuk menyembuhkan dari serangan virus Corona, Yanyan berharap geliat budidaya Kina di Bukit Tunggul kembali bergairah. Pengelola kebun dan pabrik Bukit Tunggul mengaku siap mengangkat kembali pamor Kina hasil budidaya ini.
“Kalau melihat pasar masih bagus, untuk nilai jual K3T masih di kisaran Rp 40-60 ribu, namun tentu saja harus ada peremajaan kembali pohon, artinya mengganti pohon yang sudah tidak lagi produktif dengan yang baru,” ungkapnya.
Ditempat yang sama, Tatang Hidayat selaku Asisten Afdeling Bukit Tunggul menambahkan, budidaya Kina di Bukit tunggul kian merosot seiring menurunnya produktivitas kualitas pohon.
Berbeda dengan tanaman lain, karena Kina hanya diambil kulitnya saja, idealnya pohon kembali ditanam bibit baru. Namun, karena kebijakan perusahan tak lagi melakukan penanaman, saat ini Bukit Tunggul melakukan berbagai upaya agar terus bisa memproduksi dengan tanaman yang ada.
“Kebun Kina yang tersisa hanya disini, pohon yang kita panen sekarang juga sisa penanaman tahun 2011. Kalau pohon yang ada sekarang mati, produksi juga akan terhenti,” kata Tatang.***
Editor: Maji