OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
Musim dingin 2020 di Kota Teheran. Juta-an orang, berbaju tebal atau jaket. Berbaris di sepanjang jalan. Tak peduli, di medio Januari itu, cuaca kurang bersahabat. Terasa dingin, membekukan “darah”.
Matahari pun diselimuti awan pekat. Sepekat hati jutaan manusia, mengantarkan jasad sosok legendaris dan kharismatis, Mayor Jenderal Qasem Soleimani. Tak ketinggalan, Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, ikut larut.
Tak tanggung-tanggung, sholat jenazah dipimpin langsung oleh pemimpin spiritual (pemimpin tertinggi), Ayatollah Ali Khamenei. Kedua pipi dari “tangan kanan” (sejak masih di pengasingan Neauphle le Chateau, Paris) Ayatollah Ruhollah Khomeini ini, tumpah-ruah. Tak tertahankan.
Qasem Soleimani telah dianggap masyarakat “Middle East” sebagai pahlawan. Dia, bersama pasukannya berhasil menghancurkan “proxy” Zionis di Timur Tengah yang “berbaju” Islam. Qasem Soleimani-lah yang berhasil meyakinkan Presiden Vladimir Putin (2015), untuk ikut berpartisipasi dalam perang di Suriah. Sekaligus meyakinkan publik Islam, bahwa ISIS adalah “proxy”.
Keberadaan ISIS (baca: ‘proxy’) zionis di Suriah dan Irak-lah, yang memperkuat Qasem Soleimani untuk menyelamatkan Timur Tengah dari kebingungan. ISIS memang telah membuat dunia Islam “terperangah”. Ini, kawan atau lawan. Jenderal Qasem sukses mengakhiri hiruk-pikuk Suriah dan Irak, serta Timur Tengah dari kebingungan inklusif.
Kekuatan Qasem Soleimani yang dibantu Rusia, membuat “Zionis” dan sekutunya gerah. Karena itu, Jenderal 62 tahun dan berpengalaman pada medan tempur (Perang Asimetris) di: Afghanistan, Suriah, Irak, Lebanon ini, harus dihentikan langkahnya.
Ahli pertempuran ‘rawa’ (becek) , saat perang delapan tahun (1980-1988) Iran-Irak ini, tewas oleh dua rudal “Helfire” yang menghantam mobil tumpangannya (3 Januari 2020) di Baghdad (Irak). Saat Qasem selesai memimpin pertempuran melawan ISIS. Semua “mafhum”.
Bukan hanya Ayatollah Ali Khamenei dan jutaan rakyat Iran yang menangis saat Qasem “berpulang”. Kepala Biro Politik Hamas yang berdomisili di Qatar, Ismail Haniyeh, juga “menangis”. Sedu sedan tak tertahankan.
Ismail Haniyah, yang belum lama menggantikan posisi Khaled Meshal, mengingatkan, “mendiang Qasem, selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dia telah syahid”.
Kematian Qasem, bukanlah yang terakhir. Ismail Haniyah yang sedang berkunjung ke Teheran, menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian (menggantikan Ebrahim Raisi) Rabu (30 Juli) lalu, tewas diserang Kamis (31 Juli) hari ini. Belum ada konfirmasi dan pengakuan siapa yang terlibat.
Namun, dari ‘empirik’, sejak peristiwa “Banjir Al Aqsa, 7 Oktober (2023), setidaknya dua pemimpin utama Hamas (sebelum terbunuhnya Haniyeh), telah dihabisi lewat serangan drone. Salah satunya Saleh Al-Aroury (Wakil Kepala Biro Politik Hamas), dan juga pendiri sayap militer Hamas, Izzeddin Al-Qassam. Terbunuh.
Kehilangan Saleh Al-Aroury yang cerdas, anggun, lihai, dan cakap, adalah kehilangan besar bagi Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya). Sesungguhnya, dialah, calon ‘suksesor’ potensial menggantikan Ismail Haniyeh. Aroury juga punya kemampuan mumpuni sebagai penghubung simpatik diantara faksi-faksi Palestina. Aroury yang berusia 57 tahun, tewas oleh serangan di desa Dahieh (Lebanon), Januari lalu.
Ismail Haniyeh yang juga telah kehilangan tiga anak dan empat cucu, oleh serangan Israel April lalu. Merupakan figur tertinggi Hamas yang tewas, sejak 7 Oktober (2023). Menjadi Kepala Biro Politik Hamas, sejak 2017, menggantikan Khaled Meshal, Ismail Haniyeh nampaknya memang telah siap menghadapi segala risiko.
Setelah hampir seluruh anggota keluarganya tewas, saat Idul Fitri lalu, di Gaza. Haniyeh berucap: “Darah anak-anak saya tidak lebih berharga, daripada darah rakyat kami,”kata Haniyeh saat itu.
Pembunuhan terhadap para pemimpin Hamas telah berlangsung dari masa ke masa. Khaled Meshal (sebelum Haniyeh), hampir saja tewas oleh senjata beracun yang ditempelkan ke telinganya. Namun, peristiwa yang terjadi di Amman (Yordania) itu, menimbulkan kemarahan Raja Abdullah (Yordania). Dengan ancaman pemutusan hubungan diplomatik, PM Benyamin Netanyahu, menyetujui pemberian obat penangkal. Meshal sembuh, dan menjadi perwakilan Hamas di Suriah.
Sejak berdirinya Hamas (1987) oleh Sheikh Ahmad Yassin dan Abdel Aziz Al-Rantisi, keduanya bernasib sama dengan Ismail Haniyeh. Terbunuh. Hamas lahir, karena sikap akomodatif PLO (Palestina Liberation Organisation) pimpinan Yasser Arafat & Mahmoud Abbas, kepada Israel.
Setelah Ismail Haniyeh tewas, Timur Tengah mau apa? Tentu akan makin memperumit perdamaian antara Israel-Hamas. Perang yang telah kemakan waktu 10 bulan, dengan hampir 40.000 rakyat Palestina tewas, serta seratusan lebih warga Israel masih di sandera Hamas. Akankah berguna, membunuh Ismail Haniyeh?
Siapakah pengganti Ismail Haniyeh, karena calon kuatnya Saleh Al-Aroury juga telah terbunuh? Akankah Komandan militer Hamas Mohammad Deif di Gaza? Atau pemimpin otoritas Gaza, Yahya Sinwar bakal menggantikannya?
Masih tanda tanya. Yang pasti, pembunuhan demi pembunuhan, hanya akan melahirkan semangat “membatu”. Semakin keras. Terutama bagi Palestina yang tidak diberi ruang untuk menjadi bangsa merdeka.