DARA | JAKARTA – Memperingati Hari Air Sedunia, di Jakarta Jumat 22 Maret 2019, Direktur Partnership WWF Indonesia, Ade Swargo Mulyo dalam sebuah diskusi mengatakan, dari sekitar 550 sungai di Indonesia, 82% kondisinya rusak dan 52 sungai tercemar.
Menurut Ade Swargo, ekosistem yang rusak mempengaruhi kuantitas dan kualitas air tawar yang dikonsumsi manusia. “Kami memiliki komitmen untuk melaksanakan kegiatan revitalisasi daerah tangkapan air dengan fokus utama di enam wilayah,” ujarnya seperti dilansir Suara Pembaruan, Jumat (22/3/2019).
Wilayah revitalisasi itu dilakukan di daerah aliran sungai (DAS) Peusangan Aceh, DAS Kampar Riau, DAS Mahakam Kalimantan Timur, DAS Ciliwung Jawa Barat, DAS Rinjani Lombok dan DAS Bikuma Papua.
Solusi sudah tersedia di alam atau solusi berbasis alam, sehingga WWF mengajak para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya tata kelola air yang bijaksana bagi keberlangsungan bersama manusia dan alam hingga generasi yang akan datang.
Tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui hak atas air tawar yang aman dan sanitasi yang bersih sebagai hak asasi manusia. Namun sebagian penduduk tidak dapat mengakses air tawar yang aman karena berbagai alasan seperti status ekonomi dan sosial.
Faktor penting lainnya adalah degradasi lingkungan, perubahan iklim, meningkatnya permintaan dan buruknya pengelolaan sumber daya alam.
“Semua ini meningkatkan ancaman terhadap air dan kelangkaan air merupakan masalah utama di banyak bagian dunia termasuk Indonesia,” ucapnya.
Ade menambahkan di tahun 2019, sekitar 700 juta orang di 43 negara di dunia masih menderita kelangkaan air dan banyak lagi yang masih hidup tanpa air tawar yang aman dan mencukupi.
“Kita perlu mengeksplorasi solusi berbasis alam untuk masalah air kontemporer seperti menanam pohon, meningkatkan tutupan hutan dan menyambung kembali sungai ke dataran rendah yang kerap tergenang air dan memulihkan lahan basah untuk menyeimbangkan siklus air,” ujar Ade.
Direktur Forest and Fresh Water WWF Indonesia, Irwan Gunawan mengungkapkan, air adalah esensi penting dari konservasi dan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlu langkah bersama semua pemangku kepentingan untuk menyelamatkan air sebagai sumber kehidupan.
Irwan pun optimistis di tahun 2030, Indonesia bisa mencapai kondisi air layak bagi kehidupan masyarakatnya.
“Tinggal bagaimana keseriusan pemerintah. Artinya harus ada political will pemerintah untuk menggandeng semua pihak dalam pencapaian SDGs tujuan enam tentang air dan sanitasi ini,” ujarnya.
Dalam upaya pemulihan lingkungan, lanjutnya, aspek teknologi memang penting. Menurutnya, dari kondisi alam saat ini, menggantungkan suksesi alami dari alam semata sangat sulit. Oleh karena itu sentuhan teknologi diperlukan.
“Kemampuan alam untuk pulih secara alamiah tidak lagi memungkinkan sehingga perlu intervensi dari manusia,” ujarnya.
Irwan menjelaskan, dari pemulihan lingkungan dan air perlu dilihat konteksnya, yakni melihat masalahnya untuk menentukan cara pemulihan yang tepat. Jika di beberapa kondisi sungai lebih ideal dilakukan naturalisasi daripada normalisasi, sebaiknya pendekatan naturalisasi lebih diutamakan.***
Editor: denkur
Bahan: Suara Pembaruan