Oleh: M Syafrin Zaini
i tahuDn politik saat ini, para politisi bak selebritas. Tampilan mereka di hadapan publik dengan berbagai gayanya seakan mengisyaratkan—terutama para calon anggota legislatif (Caleg)—pilihlah aku. Aku yang terbaik untuk negeri ini.
Dalam sudut pandang kamera media, televisi, cetak, online tampilan para politisi seakan menghilangkan jejak dari mana mereka berasal, dari latar belakang sosial, keluarga atau komunitas apa mereka berawal. Suara vokal yang mengeluarkan verbal dalam bertuturpun banyak yang mengkamulplase, warna vokal aslinya. Semuanya serba terbedakan oleh polesan makeup yang merekabentuk agar lebih menarik simpatik publik. Harapanya publik bersimpatik dan manjatuhkan pilihan politiknya pada dirinya.
Ini wajar saja dilakukan para petandang politik negeri ini. Sebab dalam kontestasi politik dengan sisitim demokrasi langsung setiap diri para kontestan harus tampil menarik simpatik calon pemilihnya. Bahkan suatu kewajaran pula jika para kontestan itu menyamarkan “warna aslinya”, sekalipun akan lebih baik jika “warna aslinya” itu diketahui publik atau calon pemilih secara benderang.
Dus upaya itu boleh jadi berada dalam konsep pencitraan diri. Tak salah dan menjadi hak setiap orang untuk membanguncitra dirinya secara masif. Apalagi dalam kontestasi politik. Bukan hal yang haram dilakukan, membangun citra diri untuk menarik dan membentuk imaji publik pemilih dalam pikiran bahwa dirinya yang terbaik dibanding kontestan lain.
Pencitraan dalam kontestasi politik sistim demokrasi kerap digunakan para kontestan legislatif maupun presiden di belahan dunia, negara lain yang menganut sistim demokrasi. Masing-masing individu konterstan saling berlomba menunjukkan citra diri yang bernilai positif di hadapan publik pemilih.
Kajian psikologi sosial, pada sudut pandang teori Interaksionalisme Simbolik Mead yang menyoroti fenomena pencitraan politik mengistilahkan adanya konsep, pengambilan peran (roletaking). Konsep ini, mempunyai peranan yang amat penting dalam fenomena pencitraan politik. Penting sebab konsep ini menggambarkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dan mencoba untuk memahami apa yang diharapkan oleh pihak orang lain dan seorang elite politik dalam fenomena demokrasi politik. Maka para kontestan sebut, calon legislatif akan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain sehingga interaksi akan menjadi mungkin.
Tak ayal seorang caleg akan menjadikan dirinya sesuai dengan harapan harapan masyarakat pemilih atau rakyat. Maka seorang Caleg, suka atau tidak suka, harus mengambil alih peran rakyat atau pemilih dari diri orang lain dan dibawa masuk pada pemikiran dirinyalah yang berhak mewakili rakyat di legislatif nanti.
Ini berarti pola kelakuannya harus diserasikan dengan apa yang diandaikan oleh masyarakat menjadi wakil rakyat atau wakil pemilih dari daerah pemilihanya. Semakin orang yang bersangkutan mengambil alih atau membatinkan peranan-peranan sosisal, maka semakin terbentuk pula identitas dirinya, maka identitas seorang wakil rakyat semakin terbentuk apabila individu yang bersangkutan semakin mengambil alih peranan sosial yang diharapkan oleh masyarakat.
Mead juga menguraikan panjang lebar bahwa proses pengambilan peranan-peranan yang berhubungan erat dengan pembentukan diri. Menurut dia, pada pada akhir proses ini orang yang bersangkutan memiliki suatu gambaran tentang generalized other , yaitu orang lain pada umumnya. Ini berarti peranan wakil rakyat tadi tidak lagi membentuk gambaran itu, melainkan peranan wakil rakyat pada umumnya menjadi lebih abstrak.
Sedangkan pada dasarnya, konsep Generalized other ini akan menjadi sangat bahaya jika dikaitkan dengan fenomena pencitraan politik. Konsep tadi hanya memandang bahwa wakil rakyat dari segi sosialitasnya dan disamakan dengan perananya yang telah dipelajari dalam simbol-simbol dan norma-norma.
Mead membedakan di dalam diri ada dua unsur, yang konstitutif. Yang satu disebut me atau daku, yang lain I atau aku. Me adalah adalah unsur yang mencakup generalized other, yaitu semua sikap,simbol, norma dan pengharapan masyarakat yang telah dibatinkan individu dan dipakai olehnya dalam menentukan kelakuannya. Dalam Fenomena Pencitraan politik, Me tadi adalah bentuk citra diri seorang wakil rakyat yang diharapkan oleh masyrakat umum sehingga individu atau calon wakil rakyat tadi, menentukan kelakuannya lewat pengharapan dari masyrakat umum tentang sosok wakil rakyat yang ideal itu seperti apa. Sedangkan unsur, I adalah mewakili individualitas seseorang. Pada unsur ini mempunyai peranan mengungkapkan ketunggalannya dan bersifat spontan dan orisinil.
Unsur I, ini merupakan sosok orisinil seorang calonwakil rakyat tadi sebelum ia mengambil alih peran wakil rakyat. Nah, bagi Caleg yang berkontestasi di belahan bumi Indonesia manapun atau Daerah Pemilihan (Dapil) manapun dalam pesta demokrasi nanti peran unsur apa yang akan dimainkan?Terserah Anda. ****
*)Pemimpin Umum : dara.co.id